Civic Engagement Alliance (CEA)

Brainstorming Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia.

Jakarta, (26/07/2019). Sejak 2014, berdasarkan data dari BKPM, ada penurunan yang tajam terhadap realisasi foreign direct investment pada sektor pangan di Indonesia, terutama untuk tanaman pangan dan perkebunan. Terkait permasalahan ini, peran sektor swasta sangat penting, bahkan boleh dikatakan mutlak diperlukan untuk mewujudkan sistem pangan inklusif di Indonesia. Pengembangan sistem pangan yang inklusif juga mensyaratkan pentingnya keterlibatan dan kolaborasi dengan aktor-aktor lain, terutama yang terlibat dalam rantai nilai pangan, termasuk para petani, nelayan dan peternak sendiri yang banyak menggantungkan hidupnya pada produksi bahan pangan.

Menindaki kondisi tersebut, FAO berkolaborasi dengan IBCSD berupaya untuk meningkatkan investasi pada rantai nilai komoditas untuk mewujudkan sistem pangan pangan inklusif dan mengimplementasikan SDGs 2 (Zero Hunger) melalui riset “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia”. Penabulu Foundation dipilih sebagai pihak yang melaksanakan riset dengan lama waktu riset satu tahun.

Brainstorming dilaksanakan sebelum tim riset turun lapangan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan perumusan dokumen peluang investasi sektor swasta yang dapat mendukung sistem pangan inklusif di Indonesia serta pembobotan materi riset. Brainstorming dihadiri berbagai stakeholder yaitu FAO representative Indonesia, BAPPENAS, KADIN, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, perbankan, asosiasi, perusahaan, lembaga sertifikasi, dan mitra pembangunan.

“Sistem pangan dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan, sehingga keterlibatan semua pihak sangat diperlukan, dan FAO akan tetap bekerjasama dengan berbagai pihak agar sistem pangan di Indonesia dapat menjadi lebih baik”, jelas Mr. Stephen Rudgard – FAO Representative Indonesia dalam sambutannya.

Hal tersebut sesuai dengan prioritas nasional BAPPENAS sebagaimana disampaikan oleh Mr. Anang Noegroho – Direktu Pangan dan Agrikultur BAPPENAS dalam sambutan agenda Brainstorming tersebut yaitu bahwasannya prioritas nasional saat ini adalah untuk penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas, yaitu dengan cara; peningkatan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan,peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian, peningkatan produktivitas dan kesejahteraansumberdaya manusia pertanian, peningkatan produktivitas dan keberlanjutan sumberdaya pertanian, serta peningkatan kelola sistem pangan nasional.

“Rencana Kerja Pemerintah tahun 2020 bertemakan peningkatan sumber daya manusia untuk pertumbuhan berkualitas, yaitu dengan cara pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan, konektivitas dan pemerataan, nilai tambah ekonomi dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, air, energi dan lingkungan hidup, dan stabilitas pertahanan dan keamanan. Prioritas nasional adalah nilai tambah sektor riil, industrialisasi, dan kesempatan kerja”, lanjut Anang dalam sambutannya.

Masuk pada sesi FGD, dipandu oleh Tim Riset Penabulu sebagai fasilitator seluruh peserta melakukan diskusi sesuai komoditas serta perannya dalam rantai nilai. Kesimpulan FGD dihimpun dan disusun sebagai data riset yang mana perlu dikonfirmasi dan divalidasi dalam proses riset.

Lokakarya Desa, Korporasi, dan Uji Tuntas HAM

Memulai Lobi Dan Advokasi Sejak Dari Desa

Bogor (04/07/2019) – Pembangunan desa yang ideal sesuai UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah berdampak pada menguatnya kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi sumber daya desa, berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya teknologi, dan sumber daya ekonomi. Adanya asas rekognisi dan subsidiaritas, maka Desa memiliki kewenangan membangun kemandirian dalam kerangka “Desa Membangun” yang bersifat transparan, akuntabel, dan partisipatif. Oleh karenanya, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi sangat penting bagi Desa untuk melibatkan masyarakat secara aktif.

Dalam upaya memastikan ekosistem di sekitarnya agar terus lestari dan untuk memastikan kemandirian masyarakat dan kelembagaan di desa, masyarakat dan pemerintahan desa membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sumber daya alam di Indonesia yang melimpah, menjadi potensi alam yang dapat dikelola Desa sekaligus dapat dimanfaatkan oleh korporasi/pihak swasta dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, sensitivitas investasi korporasi swasta dalam kaitannya dengan analisis risiko terlanggarnya hak-hak warganegara harus dipahami dan dikuasai oleh masyarakat dan pemerintahan desa.

Untuk menguatkan lobi dan advokasi yang dilakukan mitra CEA, maka implementasi di tahun 2019 ini pun dimulai dengan memperhatikan aktivitas perdagangan dan korporasi sejak dari hulu yang berada di perdesaan. Agar mitra CEA paham tentang tahapan pembangunan desa serta peluang lobi dan advokasi melalui mekanisme perencanaan pembangunan desa, Penabulu mengadakan Lokakarya “Desa, Korporasi, dan Uji Tuntas HAM” di Gadog, Bogor pada 1-2 Juli 2019. Lokakarya ini diikuti oleh mitra CEA dan RESBOUND, dua program yang bersentuhan dengan isu penghormatan HAM dalam penyelenggaraan bisnis. Lokakarya ini difasilitasi oleh Budi Susilo, Stephanus Mulyadi, dan Sri Purwani.

Budi Susilo, memantik forum dengan sebuah pertanyaan kritis, “Bisakah Pemerintah Desa melanggar HAM? Bisa sekali. Terkadang Pemerintah Desa tidak sadar tentang hak komunal, adat, dan budaya.”

Desa memegang peran penting dengan sejarah yang panjang itu dan masa-masa desa tidak diperhatikan, dan yang terpenting itu adalah RPJMDes dan tim penyusun. Dalam melakukan analisis dalam pembuatan RPJMDes itu tidak mudah. Soal partisipasi itu sangat penting dan yang menjadi penting BPD, mereka merukan usulan dari masyarakat. Pelibatan korporasi dalam pembangunan desa biasanya dilakukan oleh CSR. Hal inilah yang memungkinkan perusahaan duduk bersama Pemerintah Desa untuk melakukan kajian RPJMDes.

Selama dua hari, fasilitator dan peserta berdiskusi mengenai strategi lobi ke Pemerintah Desa. Seringkali kasus-kasus yang ditemukan di lapangan adalah perusahaan melakukan kegiatan karitatif atau pemberdayaan kepada kelompok-kelompok di desa namun Pemerintah Desa tidak tahu. Hal ini termasuk dorongan agar mitra CEA yang sedang mengembangkan program dengan locus di desa turut menyelaraskan dengan RPJMDes di desa yang bersangkutan. Melalui sinergi program, diharapkan mampu meminimalisir pelanggaran HAM yang terjadi dalam pembangunan desa.*(NP)