DAKOTA Terpilih sebagai “The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020”

Amsterdam (04/08/2020) – Pada tahun ini The Spindle (yang bernaung di bawah Partos) membuka kesempatan bagi start up teknologi digital di dunia mengikuti kompetisi The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020” di bidang pembangunan. The Spindle merupakan sebuah platform inovasi yang didirikan pada tahun 2016, bertujuan untuk menghubungkan pelaku inovasi Belanda dan pelaku inovasi dunia menjadi satu gerakan secara daring dan luring dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Partos sendiri merupakan sebuah asosiasi masyarakat sipil (NGO/LSM) Belanda yang fokus dalam isu pembangunan internasional, dengan keyakinan bahwa terdapat potensi inovasi yang sangat besar pada organisasi sipil Belanda maupun mitra yang berada di luar Belanda.

Yayasan Penabulu beraliansi dengan ICCO Cooperation mengikutsertakan DAKOTA (Data Komoditas Terpadu) mengikuti kompetisi tersebut. DAKOTA merupakan inovasi dari program Civic Engagement Alliance (CEA) berupa sistem kendali digital untuk produk komoditas, khususnya komoditas rempah-rempah, yang dikembangkan sebagai hasil lobi dan advokasi. DAKOTA dirancang untuk mengatasi kendala ketertelusuran produk dan pengendalian mutu komoditas terhadap kontaminasi bahan kimia, kesenjangan harga, dan pendapatan petani.

Sistem ini diharapkan dapat mendorong petani untuk mencapai kualitas rempah-rempah berbasis standar tertentu yang berlaku di pasar internasional, serta meningkatkan posisi petani untuk mengambil keputusan dalam menjawab peluang pasar. Sistem DAKOTA dirancang secara efisien dan efektif agar dapat digunakan mempromosikan petani, membangun kerjasama yang transparan, serta mencapai harga yang adil pada komoditas rempah.

Prinsip ketertelusuran dan pengendalian mutu dalam upaya lobi dan advokasi, telah mengantarkan DAKOTA menjadi salah satu dari 30 inovasi digital yang menginspirasi pada tahun 2020 versi The Spindle. 30 inovasi digital yang terpilih secara otomatis memenangkan video promosi profesional yang produksinya dilakukan oleh The Spindle dengan gaya yang menjual untuk dapat digunakan oleh para finalis dalam aktivitas pemasaran serta visibilitas di masa mendatang. Video tersebut juga akan ditautkan pada beberapa saluran online The Spindle dan Partos, sehingga inovasi dapat menjangkau lebih luas luas pada jaringan internasional The Spindle dan Partos.

DAKOTA sebagai salah satu finalis telah melewati penilaian dari kelompok pakar teknologi dan pembangunan yang dipilih oleh The Spindle berdasarkan keunikan inovasi dan sisi inspiratif dari masing-masing inovasi Digital yang telah mengikuti kompetisi. Para finalis yang masuk dalam The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020 mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sesi kreasi digital yang diadakan oleh The Spindle secara daring pada 15 September 2020. Pada kegiatan ini 30 finalis tersebut akan difasilitasi oleh The Spindle untuk menemukan solusi dalam menangani tantangan tertentu pada pengembangan inovasi digitalnya. Tidak berhenti sampai disitu. Karena para finalis juga mendapatkan kesempatan mempresentasikan inovasi digital The Partos Innovation Festival yang diselenggarakan secara daring pada tanggal 9 Oktober 2010. Pada kesempatan ini pemenang akan mempresentasikan inovasi digitalnya kepada LSM/NGO, pemerintah, dan sektor swasta. Momen ini diharapkan dapat menarik kesempatan kolaborasi antara finalis dan stakeholder dalam upaya mengembangkan inovasi digitalnya.

Secara lengkap, finalis The 30 Most Inspiring Digital Innovation (MIDI) 2020 dapat dilihat melalui tautan berikut ini: https://thespindle.org/2020/07/20/all-60-applications-for-the-30-most-inspiring-digital-innovations-2020/. (YS)

Meningkatnya Kesadaran Pemerintah Terhadap Ketertelusuran Rempah

Jakarta (23/03/2020) – Indonesia merupakan salah satu negara pemasok rempah dunia. Negara tujuan perdagangan rempah dari Indonesia tersebar di negara-negara Eropa, Asia Timur, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Bahkan, untuk merespon tingginya permintaan rempah dari pasar global, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menginstruksikan gerakan tiga kali ekspor (Gratieks) bagi produk pertanian Indonesia, termasuk beberapa jenis tanaman rempah. Gratieks ini turut juga mendorong peningkatan produksi, peningkatan nilai tambah, dan peningkatan daya saing di tiap rantai pasoknya. Perhatian dan penanganan serius terhadap rantai pasok rempah harus dilakukan oleh banyak pihak, terutama masih adanya notifikasi jamur dalam produk rempah yang berakibat penolakan dan pengembalian dari negara tujuan. Penolakan dan pengembalian rempah Indonesia berkaitan erat dengan ketertelusuran penanganan pasca-panen.

Civic Engagement Alliance (CEA) senantiasa mendorongkan adanya keterkaitan antar pihak (multi stakeholder) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani (smallholder) rempah di Indonesia. Melalui kerja bersama yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar petani, khususnya petani dan pedagang kecil rempah memiliki akses pasar. Terbukanya pasar rempah di pasar global, serta ditambah Gratieks, dapat menjadi angin segar bagi sektor pertanian Indonesia, tentu dengan syarat produk yang diperdagangkan ke luar Indonesia dapat terlacak asal usul budidaya dan penanganan pasca panen.

Hingga saat ini, produk rempah Indonesia tingkat kualitasnya ditentukan oleh eksportir untuk memenuhi syarat dari pembeli di negara tujuan. Eksportir menjadi penentu nasib petani dan pedagang kecil. Sedangkan pemerintah (di tingkat daerah maupun nasional) belum memiliki alat untuk mengawasi dan merekam jejak produk rempah Indonesia. Dalam kesempatan diskusi dan audiensi bersama Dewan Rempah Indonesia (DRI), pelaku usaha, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Balai Karantina menyepakati perlunya regulasi penanganan rantai pasok rempah untuk melindungi keaslian rempah Indonesia.

“Selama ini sebenarnya sudah ada beberapa panduan teknis mengenai budidaya, pasca-panen, ekspor produk pertanian, namun tidak terintegrasi. Melalui engagement antar pihak yang diinisiasi Penabulu dan ICCO, diharapkan dapat menghasilkan panduan teknis penanganan rantai pasok rempah yang terintegrasi sejak dari petani hingga eksportir. Dalam panduan ini harus jelas mekanisme pengawasan implementasinya,” jelas Ita Munardini, Kepala Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan. Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standar Penanganan Rantai Pasok Pala dan Lada pada 3 Desember 2019 di Komplek Kementerian Pertanian.

Dalam penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanaganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada, dilakukan dengan melibatkan dua perusahaan ekspor yaitu PT Alamsari Interbuana dan PT Cinquer Agro Nusantara (CAN) yang secara praktis memahami kebutuhan pasar global dan mendapat supply bahan baku dari kelompok tani yang secara langsung menjadi penyedia bahan baku bagi kedua perusahaan tersebut. Penyusunan SOP dilakukan tidak saja berbasis literasi, namun uji lapangan dilakukan untuk melihat kesiapan petani dan pelaku usaha menerapkan SOP, serta kapasitas jajaran Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha dan Balai Karantina Kementerian Pertanian dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi SOP ini.

SOP Penanganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada akan dilengkapi dengan platform Data Komoditas Terpadu (DAKOTA) sebagai alat untuk memastikan penerapan SOP di tingkat petani, pedagang kecil, dan eksportir, serta melacak sumber bahan baku maupun kota atau negara tujuan komoditas rempah diperdagangkan. Di era digital seperti saat ini, data ketertelusuran merupakan nilai lebih dalam perdagangan, khususnya komoditas pertanian dan perkebunan.

Caecilia Afra Widyastuti, Spice Lobbyist Specialist, menyebutkan jika SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas dengan DAKOTA adalah dua alat yang tidak dapat dipisahkan untuk menjamin kualitas rempah. “Menggunakan DAKOTA, kita dapat menelusuri bagaimana perlakuan petani dan pedagang pada pala dan lada milik mereka. Selain itu, petani dan pedagang juga dapat melacak kemana pala atau lada dijual mereka oleh eksportir. Jadi bukan tidak mungkin pembeli dari negara tertentu dapat langsung meminta kepada eksportir untuk mendatangkan rempah dari petani di suatu tempat, karena ada jaminan penanganannya. Ini yang disebut dengan keterbukaan akses pasar,” tegasnya dalam Workshop Pencermatan Draft SOP Penanganan Rantai Pasok pada 23 Januari 2020.

Sejak tahun 2018, Penabulu menjadi salah satu implementor CEA di Indonesia dengan berfokus pada Pathway 3 yaitu menguatkan smallholder rempah dalam penyelenggaraan bisnis atau perdagangan yang berperspektif hak asasi manusia. Isu ini memiliki tantangan tersendiri, mengingat konteks hak asasi manusia tidak terlalu diperhatikan dalam pembangunan sektor pertanian yang masih tradisional. Dalam pertanian dan perdagangan rempah, sebagian besar petani menjalankan tradisi budidaya turun temurun, mengingat juga usia tanaman rempah biasanya berumur panjang. Menyadarkan petani mengenai keselamatan kerja di area perkebunan rempah bukan suatu hal yang mudah, karena mereka beranggapan yang dilakukan adalah hal yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Demikian halnya dengan fungsi pengawasan dalam budidaya dan alur perdagangan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, tidak cukup optimal. Pemerintah tidak optimal melakukan fasilitasi dan mengawasi penyelenggaraan bisnis rempah di Indonesia.

Kesadaran pemerintah baru tersentak ketika Syahrul Yasin Limpo diangkat sebagai Menteri Pertanian dan menerapkan target peningkatan ekspor dalam waktu lima tahun. Gratieks diharapkan mampu memberikan kontribusi positif untuk ekonomi nasional dan kesejahteraan petani (rempah) dalam lima tahun ke depan. Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha yang semula resisten dengan ajakan Penabulu untuk menjadi bagian dari upaya penguatan petani rempah dan penyelenggaraan perdagangan rempah yang berperspektif hak asasi manusia, menjadi lebih responsif. Bahkan SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas Pala dan Lada menjadi target output dari Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun anggaran 2020. (NP)

The Power of Alliance: Menggalang Kekuatan Aliansi Mitra CEA

Ubud (30/11/2019) – Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, mitra CEA telah menghasilkan beragam produk pengetahuan maupun kerja kolaborasi multi pihak yang melibatkan Pemerintah – Sektor Swasta – Pekerja – Smallholder. Secara umum, implementasi CEA bersinergi dengan perusahaan dan Pemerintah Indonesia melalui lobi dan advokasi yang dilakukan oleh lembaga mitra CEA di Indonesia. Lembaga mitra CEA Indonesia sudah berupaya memberikan sumbangan pemikiran serta masukan terhadap perbaikan standar operasional prosedur penyelenggaraan bisnis serta kebijakan di tingkat kabupaten hingga nasional.

Dua pilar utama CEA yakni Pathway 3 (Smallholder Empowerment) dan Pathway 4 (Responsible Business), dijalankan oleh aliansi masyarakat sipil, serikat petani, asosiasi bisnis dan tokoh tokoh birokrasi. Lobi kepada stakeholder komoditas sudah dilakukan melalui Pathway 3 dan Pathway 4 dengan menghasilkan beragam kesepakatan, kajian, maupun panduan yang bertujuan untuk memberi jaminan keamanan pangan bagi konsumen sebagai akhir dari rantai nilai komoditas dan memperkuat para produsen kecil dalam rantai pasar. Menjelang berakhirnya program CEA di tahun 2020, ICCO merasa perlu menyelenggarakan pertemuan dengan seluruh partner tematik.

Pada 25-28 November 2019 di Ubud, Bali, perwakilan dari mitra program CEA bertemu untuk membicarakan bagaimana mengembangkan arah dan kelanjutan aliansi yang secara programatik akan berakhir pada 2020. Secara umum, ada beragam capaian dan tantangan. Ketidaksamaan memulai program, keleluasaan untuk mengembangkan aktivitas dan karakter khas dari tiap organisasi menjadi beberapa faktor pendorongnya. Diskusi terbuka antara KPSHK, Penabulu, Konsil LSM, ELSAM, KRKP, Hukatan-CNV, SPKS, PKPA dan ICCO bertujuan untuk menyamakan pandangan terhadap arus dan konteks eksternal, baik lokal, nasional maupun global yang akan berpengaruh kuat terhadap ide dan jalannya program maupun pasca program.

Di sela-sela waktu diskusi, Penabulu sebagai tuan rumah kegiatan mengajak para mitra berkunjung ke Kopernik untuk berdiskusi mengenai pengembangan inovasi. Hal ini merupakan salah satu bagian reflektif agar mitra CEA mampu menghasilkan produk inovasi yang dapat digunakan oleh masyarakat luas, terlebih mitra CEA bersinggungan dengan banyak stakeholder yang tentunya memiliki harapan besar terhadap dampak program dalam aspek penerapan bisnis yang berperspektif HAM.

“Yang dilakukan Kopernik seperti tamparan untuk saya. Kita berbicara hal besar pagi-pagi tapi tidak terlaksana dengan baik. Begitu ke Kopernik ternyata hal-hal kecil itu luput kita pikirkan. Kopernik memiliki pandangan yang berbeda dari sudut pandang kita, mereka melakukan eksperimen dan inovasi berdasarkan kebutuhan dengan masyarakat,” ujar Lily Batara, Manajer Program KRKP.

Difasilitasi oleh Rival Ahmad, pertemuan selama empat hari berlangsung secara dinamis. Implementasi program yang dilaksanakan oleh para mitra semakin menampakkan hasil yang dapat diindera. Bahkan untuk menjalankan program secara efektif dan mencapai hasil yang lebih optimal, para mitra menysusun rencana implementasi bersama lintas pilar. Peserta menyatakan bahwa pertemuan kali ini mampu membangkitkan antusiasme, karena ada banyak informasi baru yang diperoleh peserta dari peserta lain, terutama kedalaman dan perspektif dalam menjalankan program. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pertemuan yang reguler dan alurnya tertata dengan baik akan membantu mitra dalam melakukan refleksi program dan mengembangkan kemungkinan berkolaborasi. (NP)

Manajemen Pengaduan dan Umpan Balik Berbasis Komunitas Dalam Penanggulanan HIV/AIDS di Indonesia

Konsep GOSORA

IR Rapid Asessment Sumber Penghidupan (SBD – Penabulu Foundation) 13 April 2020

Domestic Resources Mobilization

Panduan Kajian Sistem Pangan Masa Covid-19

Konsep GOSORA Maluku Utara