Bergerak Menggembangkan Sinergi

Mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan merupakan tujuan pendidikan adalah pernyataan visioner dari Tan Malaka. Oleh karena itu proses belajar dalam pendidikan tinggi mengarah untuk mewujudkan 3 aras tersebut melalui pengembangan pengetahuan, penelitian dan pengabdian masyarakat.  Proses inilah yang melatarbelakangi dimulainya sinergi kerjasama Yayasan Penabulu dengan Universitas Presiden Bekasi untuk bersama mengembangkan mata kuliah “Organisasi Masyarakat Sipil” di jurusan Hubungan Internasional (HI).  Mata kuliah ini dianggap mampu membuka ruang dialog dengan mahasiswa dan memberikan pengetahuan serta ketrampilan bagaimana sebuah Organisasi Masyarakat Sipil/OMS mengelola lembaganya sehingga mampu mengambil peran strategis sebagai aktor non negara di tingkat nasional maupun internasional.

Proses pengajaran  dilakukan secara daring, berlangsung pada bulan November-Desember 2021 untuk 43 orang mahasiswa melalui tiga (3) workshop oleh tim Penabulu. Adapun  materi utama workshop yakni 1) Peran OMS dalam Pembangunan di Indonesia, 2) Strategi OMS di Tingkat Internasional, 3) Manajemen Pengelolaan Proyek dan ditutup dengan paparan concept note sebagai bentuk penugasan bagi mahasiswa yang dibagi dalam 7 kelompok bersama 2 tim pemberi input dari Penabulu. Ketiga materi tersebut bertujuan untuk menjelaskan secara singkat bahwa OMS merupakan institusi non pemerintah yang berperan kuat dan independen sebagai penyeimbang negara (balancing force) dari kecenderungan intervensi negara. Pada saat yang sama, OMS juga menjadi kekuatan kritis reflektif (reflective force) dan peran-peran advokatif di tingkat nasional maupun internasional untuk mengurangi derajat konflik akibat dampak  kebijakan di tingkat global. Sedangkan penugasan dalam bentuk concept note bertujuan untuk mempertemukan kekuatan logika, analisis atas data dan keruntutan berpikir dari para mahasiswa.

Selain itu, pengajaran ini juga memberikan pemahaman kepada mahasiswa bahwa dalam perjalanannya, OMS mengalami pergeseran peran dengan mengedepankan kerja-kerja kolaboratif dengan multistakeholder melalui program-program kemitraan dengan pemerintah, dunia usaha maupun perguruan tinggi agar dampak bisa semakin luas dan strategis. Juga dimunculkan peran-peran advokatif dan intermediary OMS di tingkat internasional sebagai bentuk keberpihakan atas permasalahan internasional seperti perubahan iklim dan pemanasan global, kasus pekerja migran, kasus pelanggaran HAM internasional, dll.

Proses kuliah yang diselenggarakan secara daring, tetap dilaksanakan secara interaktif, dengan metode penugasan, paparan materi tentang OMS, tanya jawab dan diskusi melalui break out room maupun paparan penugasan di depan tim pemberi input dari Penabulu. Semoga proses pengajaran tentang OMS ini menjadi salah satu sarana memperkuat peran mahasiswa sebagai embrio agen perubahan di tingkat nasional dan global.

DAKOTA Terpilih sebagai “The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020”

Amsterdam (04/08/2020) – Pada tahun ini The Spindle (yang bernaung di bawah Partos) membuka kesempatan bagi start up teknologi digital di dunia mengikuti kompetisi The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020” di bidang pembangunan. The Spindle merupakan sebuah platform inovasi yang didirikan pada tahun 2016, bertujuan untuk menghubungkan pelaku inovasi Belanda dan pelaku inovasi dunia menjadi satu gerakan secara daring dan luring dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Partos sendiri merupakan sebuah asosiasi masyarakat sipil (NGO/LSM) Belanda yang fokus dalam isu pembangunan internasional, dengan keyakinan bahwa terdapat potensi inovasi yang sangat besar pada organisasi sipil Belanda maupun mitra yang berada di luar Belanda.

Yayasan Penabulu beraliansi dengan ICCO Cooperation mengikutsertakan DAKOTA (Data Komoditas Terpadu) mengikuti kompetisi tersebut. DAKOTA merupakan inovasi dari program Civic Engagement Alliance (CEA) berupa sistem kendali digital untuk produk komoditas, khususnya komoditas rempah-rempah, yang dikembangkan sebagai hasil lobi dan advokasi. DAKOTA dirancang untuk mengatasi kendala ketertelusuran produk dan pengendalian mutu komoditas terhadap kontaminasi bahan kimia, kesenjangan harga, dan pendapatan petani.

Sistem ini diharapkan dapat mendorong petani untuk mencapai kualitas rempah-rempah berbasis standar tertentu yang berlaku di pasar internasional, serta meningkatkan posisi petani untuk mengambil keputusan dalam menjawab peluang pasar. Sistem DAKOTA dirancang secara efisien dan efektif agar dapat digunakan mempromosikan petani, membangun kerjasama yang transparan, serta mencapai harga yang adil pada komoditas rempah.

Prinsip ketertelusuran dan pengendalian mutu dalam upaya lobi dan advokasi, telah mengantarkan DAKOTA menjadi salah satu dari 30 inovasi digital yang menginspirasi pada tahun 2020 versi The Spindle. 30 inovasi digital yang terpilih secara otomatis memenangkan video promosi profesional yang produksinya dilakukan oleh The Spindle dengan gaya yang menjual untuk dapat digunakan oleh para finalis dalam aktivitas pemasaran serta visibilitas di masa mendatang. Video tersebut juga akan ditautkan pada beberapa saluran online The Spindle dan Partos, sehingga inovasi dapat menjangkau lebih luas luas pada jaringan internasional The Spindle dan Partos.

DAKOTA sebagai salah satu finalis telah melewati penilaian dari kelompok pakar teknologi dan pembangunan yang dipilih oleh The Spindle berdasarkan keunikan inovasi dan sisi inspiratif dari masing-masing inovasi Digital yang telah mengikuti kompetisi. Para finalis yang masuk dalam The 30 Most Inspiring Digital Innovations (MIDI) 2020 mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sesi kreasi digital yang diadakan oleh The Spindle secara daring pada 15 September 2020. Pada kegiatan ini 30 finalis tersebut akan difasilitasi oleh The Spindle untuk menemukan solusi dalam menangani tantangan tertentu pada pengembangan inovasi digitalnya. Tidak berhenti sampai disitu. Karena para finalis juga mendapatkan kesempatan mempresentasikan inovasi digital The Partos Innovation Festival yang diselenggarakan secara daring pada tanggal 9 Oktober 2010. Pada kesempatan ini pemenang akan mempresentasikan inovasi digitalnya kepada LSM/NGO, pemerintah, dan sektor swasta. Momen ini diharapkan dapat menarik kesempatan kolaborasi antara finalis dan stakeholder dalam upaya mengembangkan inovasi digitalnya.

Secara lengkap, finalis The 30 Most Inspiring Digital Innovation (MIDI) 2020 dapat dilihat melalui tautan berikut ini: https://thespindle.org/2020/07/20/all-60-applications-for-the-30-most-inspiring-digital-innovations-2020/. (YS)

Meningkatnya Kesadaran Pemerintah Terhadap Ketertelusuran Rempah

Jakarta (23/03/2020) – Indonesia merupakan salah satu negara pemasok rempah dunia. Negara tujuan perdagangan rempah dari Indonesia tersebar di negara-negara Eropa, Asia Timur, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Bahkan, untuk merespon tingginya permintaan rempah dari pasar global, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menginstruksikan gerakan tiga kali ekspor (Gratieks) bagi produk pertanian Indonesia, termasuk beberapa jenis tanaman rempah. Gratieks ini turut juga mendorong peningkatan produksi, peningkatan nilai tambah, dan peningkatan daya saing di tiap rantai pasoknya. Perhatian dan penanganan serius terhadap rantai pasok rempah harus dilakukan oleh banyak pihak, terutama masih adanya notifikasi jamur dalam produk rempah yang berakibat penolakan dan pengembalian dari negara tujuan. Penolakan dan pengembalian rempah Indonesia berkaitan erat dengan ketertelusuran penanganan pasca-panen.

Civic Engagement Alliance (CEA) senantiasa mendorongkan adanya keterkaitan antar pihak (multi stakeholder) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani (smallholder) rempah di Indonesia. Melalui kerja bersama yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar petani, khususnya petani dan pedagang kecil rempah memiliki akses pasar. Terbukanya pasar rempah di pasar global, serta ditambah Gratieks, dapat menjadi angin segar bagi sektor pertanian Indonesia, tentu dengan syarat produk yang diperdagangkan ke luar Indonesia dapat terlacak asal usul budidaya dan penanganan pasca panen.

Hingga saat ini, produk rempah Indonesia tingkat kualitasnya ditentukan oleh eksportir untuk memenuhi syarat dari pembeli di negara tujuan. Eksportir menjadi penentu nasib petani dan pedagang kecil. Sedangkan pemerintah (di tingkat daerah maupun nasional) belum memiliki alat untuk mengawasi dan merekam jejak produk rempah Indonesia. Dalam kesempatan diskusi dan audiensi bersama Dewan Rempah Indonesia (DRI), pelaku usaha, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Balai Karantina menyepakati perlunya regulasi penanganan rantai pasok rempah untuk melindungi keaslian rempah Indonesia.

“Selama ini sebenarnya sudah ada beberapa panduan teknis mengenai budidaya, pasca-panen, ekspor produk pertanian, namun tidak terintegrasi. Melalui engagement antar pihak yang diinisiasi Penabulu dan ICCO, diharapkan dapat menghasilkan panduan teknis penanganan rantai pasok rempah yang terintegrasi sejak dari petani hingga eksportir. Dalam panduan ini harus jelas mekanisme pengawasan implementasinya,” jelas Ita Munardini, Kepala Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan. Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standar Penanganan Rantai Pasok Pala dan Lada pada 3 Desember 2019 di Komplek Kementerian Pertanian.

Dalam penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanaganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada, dilakukan dengan melibatkan dua perusahaan ekspor yaitu PT Alamsari Interbuana dan PT Cinquer Agro Nusantara (CAN) yang secara praktis memahami kebutuhan pasar global dan mendapat supply bahan baku dari kelompok tani yang secara langsung menjadi penyedia bahan baku bagi kedua perusahaan tersebut. Penyusunan SOP dilakukan tidak saja berbasis literasi, namun uji lapangan dilakukan untuk melihat kesiapan petani dan pelaku usaha menerapkan SOP, serta kapasitas jajaran Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha dan Balai Karantina Kementerian Pertanian dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi SOP ini.

SOP Penanganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada akan dilengkapi dengan platform Data Komoditas Terpadu (DAKOTA) sebagai alat untuk memastikan penerapan SOP di tingkat petani, pedagang kecil, dan eksportir, serta melacak sumber bahan baku maupun kota atau negara tujuan komoditas rempah diperdagangkan. Di era digital seperti saat ini, data ketertelusuran merupakan nilai lebih dalam perdagangan, khususnya komoditas pertanian dan perkebunan.

Caecilia Afra Widyastuti, Spice Lobbyist Specialist, menyebutkan jika SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas dengan DAKOTA adalah dua alat yang tidak dapat dipisahkan untuk menjamin kualitas rempah. “Menggunakan DAKOTA, kita dapat menelusuri bagaimana perlakuan petani dan pedagang pada pala dan lada milik mereka. Selain itu, petani dan pedagang juga dapat melacak kemana pala atau lada dijual mereka oleh eksportir. Jadi bukan tidak mungkin pembeli dari negara tertentu dapat langsung meminta kepada eksportir untuk mendatangkan rempah dari petani di suatu tempat, karena ada jaminan penanganannya. Ini yang disebut dengan keterbukaan akses pasar,” tegasnya dalam Workshop Pencermatan Draft SOP Penanganan Rantai Pasok pada 23 Januari 2020.

Sejak tahun 2018, Penabulu menjadi salah satu implementor CEA di Indonesia dengan berfokus pada Pathway 3 yaitu menguatkan smallholder rempah dalam penyelenggaraan bisnis atau perdagangan yang berperspektif hak asasi manusia. Isu ini memiliki tantangan tersendiri, mengingat konteks hak asasi manusia tidak terlalu diperhatikan dalam pembangunan sektor pertanian yang masih tradisional. Dalam pertanian dan perdagangan rempah, sebagian besar petani menjalankan tradisi budidaya turun temurun, mengingat juga usia tanaman rempah biasanya berumur panjang. Menyadarkan petani mengenai keselamatan kerja di area perkebunan rempah bukan suatu hal yang mudah, karena mereka beranggapan yang dilakukan adalah hal yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Demikian halnya dengan fungsi pengawasan dalam budidaya dan alur perdagangan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, tidak cukup optimal. Pemerintah tidak optimal melakukan fasilitasi dan mengawasi penyelenggaraan bisnis rempah di Indonesia.

Kesadaran pemerintah baru tersentak ketika Syahrul Yasin Limpo diangkat sebagai Menteri Pertanian dan menerapkan target peningkatan ekspor dalam waktu lima tahun. Gratieks diharapkan mampu memberikan kontribusi positif untuk ekonomi nasional dan kesejahteraan petani (rempah) dalam lima tahun ke depan. Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha yang semula resisten dengan ajakan Penabulu untuk menjadi bagian dari upaya penguatan petani rempah dan penyelenggaraan perdagangan rempah yang berperspektif hak asasi manusia, menjadi lebih responsif. Bahkan SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas Pala dan Lada menjadi target output dari Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun anggaran 2020. (NP)

The Power of Alliance: Menggalang Kekuatan Aliansi Mitra CEA

Ubud (30/11/2019) – Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, mitra CEA telah menghasilkan beragam produk pengetahuan maupun kerja kolaborasi multi pihak yang melibatkan Pemerintah – Sektor Swasta – Pekerja – Smallholder. Secara umum, implementasi CEA bersinergi dengan perusahaan dan Pemerintah Indonesia melalui lobi dan advokasi yang dilakukan oleh lembaga mitra CEA di Indonesia. Lembaga mitra CEA Indonesia sudah berupaya memberikan sumbangan pemikiran serta masukan terhadap perbaikan standar operasional prosedur penyelenggaraan bisnis serta kebijakan di tingkat kabupaten hingga nasional.

Dua pilar utama CEA yakni Pathway 3 (Smallholder Empowerment) dan Pathway 4 (Responsible Business), dijalankan oleh aliansi masyarakat sipil, serikat petani, asosiasi bisnis dan tokoh tokoh birokrasi. Lobi kepada stakeholder komoditas sudah dilakukan melalui Pathway 3 dan Pathway 4 dengan menghasilkan beragam kesepakatan, kajian, maupun panduan yang bertujuan untuk memberi jaminan keamanan pangan bagi konsumen sebagai akhir dari rantai nilai komoditas dan memperkuat para produsen kecil dalam rantai pasar. Menjelang berakhirnya program CEA di tahun 2020, ICCO merasa perlu menyelenggarakan pertemuan dengan seluruh partner tematik.

Pada 25-28 November 2019 di Ubud, Bali, perwakilan dari mitra program CEA bertemu untuk membicarakan bagaimana mengembangkan arah dan kelanjutan aliansi yang secara programatik akan berakhir pada 2020. Secara umum, ada beragam capaian dan tantangan. Ketidaksamaan memulai program, keleluasaan untuk mengembangkan aktivitas dan karakter khas dari tiap organisasi menjadi beberapa faktor pendorongnya. Diskusi terbuka antara KPSHK, Penabulu, Konsil LSM, ELSAM, KRKP, Hukatan-CNV, SPKS, PKPA dan ICCO bertujuan untuk menyamakan pandangan terhadap arus dan konteks eksternal, baik lokal, nasional maupun global yang akan berpengaruh kuat terhadap ide dan jalannya program maupun pasca program.

Di sela-sela waktu diskusi, Penabulu sebagai tuan rumah kegiatan mengajak para mitra berkunjung ke Kopernik untuk berdiskusi mengenai pengembangan inovasi. Hal ini merupakan salah satu bagian reflektif agar mitra CEA mampu menghasilkan produk inovasi yang dapat digunakan oleh masyarakat luas, terlebih mitra CEA bersinggungan dengan banyak stakeholder yang tentunya memiliki harapan besar terhadap dampak program dalam aspek penerapan bisnis yang berperspektif HAM.

“Yang dilakukan Kopernik seperti tamparan untuk saya. Kita berbicara hal besar pagi-pagi tapi tidak terlaksana dengan baik. Begitu ke Kopernik ternyata hal-hal kecil itu luput kita pikirkan. Kopernik memiliki pandangan yang berbeda dari sudut pandang kita, mereka melakukan eksperimen dan inovasi berdasarkan kebutuhan dengan masyarakat,” ujar Lily Batara, Manajer Program KRKP.

Difasilitasi oleh Rival Ahmad, pertemuan selama empat hari berlangsung secara dinamis. Implementasi program yang dilaksanakan oleh para mitra semakin menampakkan hasil yang dapat diindera. Bahkan untuk menjalankan program secara efektif dan mencapai hasil yang lebih optimal, para mitra menysusun rencana implementasi bersama lintas pilar. Peserta menyatakan bahwa pertemuan kali ini mampu membangkitkan antusiasme, karena ada banyak informasi baru yang diperoleh peserta dari peserta lain, terutama kedalaman dan perspektif dalam menjalankan program. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pertemuan yang reguler dan alurnya tertata dengan baik akan membantu mitra dalam melakukan refleksi program dan mengembangkan kemungkinan berkolaborasi. (NP)

Story of Change: Integrating the Hopes for “Koerintji Cinnamon”

Cinnamon is one of the original spices of Indonesia that have charm in the global market because most of the world’s cinnamon needs are supplied from Indonesia, especially Kerinci. Cinnamon from Kerinci is popular because of its high volatile content. Kerinci Regency which is located 3,805 meters above sea level is an agricultural and forestry producing region. Fertile soil is a gift from the high sulfur content of Mount Kerinci, the highest volcano in Indonesia. No wonder if coffee and cinnamon abound in Kerinci.

Cinnamon, is a product of non-timber forest products (NTFP) which is administratively under the auspices of the Ministry of Forestry policy. Based on Regulation of the Environment and Forestry Minister (Permen LHK) No. P38 year 2016 that concerning Social Forestry enables cinnamon farmers to be part of a sustainable forest management system conducted by the community to improve their welfare, environmental balance, and social dynamics. In Kerinci Regency, the social forestry permit is under the responsibility of the Production Forest Management Unit (KPHP).

The KPHP encourages farmer groups that have a social forestry permit to have a work plan and a marketing plan for NTFP products. However, it was recognized by the Head of the KPHP of Kerinci, Neneng Susanti, that they unit was unable to assist farmers and monitor the results of cinnamon production.

“KPHP lacks resources that can oversee the implementation of social forestry. Meanwhile, there is only one farmer group in Masgo Village, Gunung Raya Sub-district, which we intensively assist. There are 20 farmers in the village (Masgo) who also produce cinnamon,” said Neneng.

The process of cleaning cinnamon bark from outer skin. (Doc. of Soeherman)

As one of the spice products, cinnamon deserves special attention, given the enormous needs of the world for this plant. When Penabulu tracking the cinnamon trade value chain in Kerinci Regency, it was found that there were no standard production standards until post-harvest handling that became a reference for smallholders (farmers and small traders). The most common cause is the lack of safety awareness in harvesting cinnamon.

Abduhrahman, one of the traders in Kerinci Regency said, “Farmers or workers use tools that are not suitable for their purpose and neglect K3S. For example, they use a kitchen knife to separate the bark from the stem. Many workers suffered injuries and blood seeped on cinnamon. As a result, it affects the quality defects. ”

Togetherness for supporting the cinnamon smallholders empowerment. (Doc. of Menggala)

In the multi-stakeholder discussion and lobbying conducted by the Penabulu in Kerinci Regency, both the smallholders and the KPHP were very open with plans to initiate the development of a data system that could be integrated with the social forestry program. If there is a data system that will be able to track the traceability of cinnamon products, production standards from cultivation, harvesting, to post-harvest will be urgently needed by farmers and small traders so that the quality of cinnamon from Kerinci. And also, researchers from the Sebelas Maret University Surakarta (UNS) and Ghent University Belgium stated their willingness to support the preparation of standard operating procedures (SOP) for production and post-harvest for cinnamon smallholders in Kerinci. All parties agreed to have the same mission to improve and strengthen the bargaining position of smallholder of the cinnamon value chain, which in Europe is known as “Koerintji Cinnamon”. (NP)

Workshop II Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia

Komoditas Udang dan Kopi

Surabaya, (22/11/2019). Hubungan tiga pihak antara Pemerintah – Sektor Swasta – Masyarakat dapat mempertemukan kebutuhan dan kemampuan antar pihak, serta menemukan ruang-ruang kosong yang dapat diisi secara kolaboratif. Melalui program “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia” Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) bersama Penabulu Foundation melakukan kajian mengenai potensi peran sektor swasta secara inklusif dalam mobilisasi investasi untuk pengembangan sistem pangan. Kajian ini dilakukan pada rantai pangan dalam komoditas terpilih, khususnya komoditas yang difokuskan dalam program ini, yaitu kedelai, udang, manggis, kambing dan domba. Konstelasi sistem pangan tersebut berupa karakteristik rantai nilai dan peta sistem pangan; isu-isu dalam sistem pangan (hambatan dan tantangan); peluang Public and Private Partnership; lingkungan investasi komoditas; dan peluang investasi beserta dampaknya.

Setelah workshop pertama yang diadakan di Bandung, workshop kedua di adakan di Surabaya untuk mengkofirmasi informasi dan data yang telah dihimpun oleh tim peneliti pada komoditas Udang dan Kopi. Partisipan yang hadir juga dari berbagai stakeholder yakni pemerintah, UPT, peneliti, asosiasi eksportir, petambak, dan petani. Workshop diawali dengan pemaparan tiga narasumber utama yaitu Sigit Ismaryanto (Board of Indonesia Sustainable Coffee Cooperation (ISCC)), Muhammad Zainul Abidin (PT. Central Proteina Prima), dan Andi Kurniawan, S.Pi., M.Eng., D.Sc (Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, Universitas Brawijaya).

Proses dialog dibagi menjadi dua bagian yakni tanya jawab dan FGD. Tanya jawab ditujukan agar partisipan mendapatkan ruang untuk mengkorfirmasi informasi, menanggapi pemaparan pemari serta menyampaikan pendapatnya sendiri sebagai pelaku dalam aktivitas di komoditas terkait. Sedangkan FGD bertujuan untuk menggali informasi tambahan mengenai permasalahan, peluang investasi, target SDGs 2 (Zero Hunger) pada lingkup produksi pangan, panen, pasca panen, dan pengolahan, askses pasar, dan permintaan konsumen.

Investasi sangat penting untuk menghapus kemiskinan serta mewujudkan pemenuhan pangan bagi setiap individu di suatu negara. Indonesia sebagai negara yang subur dan memiliki kekayaan hayati memiliki potensi yang sangat besar untuk mencapai visi kemandirian pangan. Melalui workshop ini semakin menegaskan tentang kebutuhan investasi dari hulu ke hilir dalam rantai nilai komoditas udang dan kopi.

Harapan besar ada pada udang untuk menggantikan protein selain daripada ayam. Hal tersebut dilandaskan pada perkembangan pasar udang yang semakin terjangkau hingga kalangan menengah ke bawah. Selain itu, komoditas kopi juga merupakan komoditas unggulan Indonesia karena produksi dan tingkat ekspor per tahun 2018 sekalipun tidak cukup signifikan. Yang menarik juga adalah konsumsi kopi masyarakat Indonesia meningkat sehingga ini menjadi peluang bagi pebisnis pemula dalam negeri.

Paparan Rencana Kerja Pengembangan Protokol CBMF dalam Program Penanggulangan HIV/AIDS

 

September 2019, Yayasan Penabulu menjalin kerja sama dengan Indonesia AIDS Coalition (IAC) sebagai konsultan untuk pengembangan protokol pemantauan dan umpan balik berbasis komunitas (community based monitoring and feedback/CBMF). Dalam rangka mendapatkan informasi guna penyusunan protokol, Yayasan Penabulu dilibatkan dalam Pertemuan Evaluasi Penguatan Sistem Komunitas dan Penciptaan Lingkungan Kondusif terkait Akses dan Layanan Kesehatan (Community System Strengthening and Enabling Environment for Access/CSS-EEA). Kegiatan dilaksanakan selama 3 hari, pada 6-8 November 2019 di Hotel Arya Duta, Denpasar.

Pertemuan evaluasi diikuti seluruh pelaksana program IAC selaku sub recipient (SR) dan juga Jaringan Indonesia Positif (JIP) dan juga Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) selaku sub-sub recipient (SSR). Kegiatan diikuti oleh seluruh komponen pelaksana program yang disebut sebagai empat pilar yaitu ARV Community Support (ACS), Enumerator, Focal Poin, Paralegal dari 23 wilayah program serta local champion.

Dalam pertemuan evaluasi ini, Yayasan Penabulu berharap mendapatkan gambaran utuh tentang pelaksanaan program, dinamika dan tantangan yang dihadapi, topik terkini terkait penanggulangan HIV dari sudut pandang komunitas serta pembelajaran. Kegiatan tersebut diikuti oleh tiga konsultan dari Penabulu yaitu Dwi Aris Subakti, dr. Adhi Sanjaya dan Irman Suryana.

Pada sesi hari kedua pagi, IAC memberikan kesempatan kepada Yayasan Penabulu untuk memaparkan tentang strategi dan rencana kerja dalam penyusunan protokol CBMF. Dwi Aris Subakti selaku Koordinator Tim menyatakan, “secara umum, protokol CBMF memiliki 3 aspek utama yakni Client Satisfaction, Enabling Environment dan Quality Assurance“. Dalam aspek Client Satis faction, terdapat dua komponen yaitu Mekanisme Pelaporan Pengaduan dan Survei Kepuasan Pelanggan secara Reguler. Pada aspek Enabling Environment terdapat dua komponen yaitu Mekanisme Pelaporan serta Pendokumentasian Kasus. Sedangkan Quality Assurance adalah aspek khusus untuk penjaminan kualitas program melalui mekanisme pemantauan oleh komunitas selaku penerima manfaat,”imbuhnya.

Setidaknya ada 3 tahap yang dilalui dalam menyusun protokol ini, yakni tahap pengumpulan dan review background informasi, pengembangan protokol dan finalisasi protokol. Tahap sekarang yang sedang dilalui tim adalahpengumpulan data dan informasi. Tim Konsultan berharap dalam pertemuan evaluasi ini, bisa  mendapatkan masukan tentang substansi yang akan dipantau dalam CBMF serta hal-hal lain terkait strategi, metode, indikator dan juga instrumen.

Dalam upaya mengumpulkan informasi dan menggali masukan dari komunitas, Tim Konsultan menyelenggarakan FGD yang dipimpin oleh dr. Adhi Sanjaya. FGD diikuti oleh perwakilan empat pilar pelaksana program yaitu ACS, Enumerator, Vokal Poin dan Paralegalserta juga melibatkan local champion. Secara bergantian peserta FGD mengungkapkan hal-hal terkait bagaimana pandangan komunitas terhadap layanan kesehatan, hambatan dalam mengakses layanan, lingkungan pendukung dan pelaksanaan program.

Tim Konsultan dari Penabulu melaksanakan FGD pengumpulan informasi dan penggalian masukan terkait CBMF dari empat pilar pelaksana program.

FGD difokuskan untuk menggali informasi apakah ada praktik di daerah tentang mekanisme pengaduan oleh komunitas. FGD juga menggali masukan bagaimana sebaiknya pemantauan oleh komunitas dilakukan. Temuan-temuan selama FGD menjadi masukkan berharga dalam penyusunan protokol.

Workshop Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia

Komoditas Kambing dan Domba, Kedelai, dan Manggis

Bandung, (29/10/2019). Indonesia Business Council for Sustainable Developemnt (IBCSD) melalui program “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia” menggandeng Penabulu Foundationan melakukan kajian mengenai potensi peran sektor swasta secara inklusif dalam mobilisasi investasi untuk pengembangan sistem pangan. Kajian ini dilakukan pada rantai pangan dalam komoditas terpilih, khususnya komoditas yang difokuskan dalam program ini, yaitu kedelai, udang, manggis, kambing dan domba, serta udang. Konstelasi sistem pangan tersebut berupa karakteristik rantai nilai dan peta sistem pangan; isu-isu dalam sistem pangan (hambatan dan tantangan); peluang Public and Private Partnership ; lingkungan investasi komoditas; dan peluang investasi beserta dampaknya.

Kajian bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri, kompleksnya permasalahan pangan yang dihadapi, dan besarnya tantangan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya pangan nasional bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan suatu kebijakan pangan nasional yang terintegrasi dengan kebijakan sektoral terkait. Kajian ini dilakukan di Jawa Timur untuk komoditas Udang dan Kopi, serta Jawa Barat untuk komoditas Kambing dan Domba, Kedelai, dan Manggis.

Workshop “Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia” merupakan bagian dari proses kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Penabulu Foundation. Workshop ini melibatkan stakeholder yang berhubungan dengan komoditas Kambing dan Domba, Manggis, serta Kedelai yaitu petani, pemerintah, tengkulak, eksportir dan pelaku bisnis lainnya di komoditas tersebut serta empat Narasumber yang bersentuhan langsung dengan isu pangan yaitu Dr. Ronnie Susman Natawidjaja (Direktur Ousat Studi Pangan Berkelanjutan, Universitas Padjajaran), Adis Budiana (Ketua Kelompok Tani Manggis “Warga Mukti”, Wanayasa), Ir. H. Yudi Guntara (Ketua Himpunan Peternak Kambing dan Domba Indonesia), dan Dita Fitriani, S.P (Marketing Researcher PPT Ewindo).

Workshop bertujuan untuk memaparkan hasil riset serta mengkonfirmasi apakah data riset telah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, selain itu juga untuk mengklarifikasi dan mempersilahkan peserta workshop mengolah hasil riset sementara jika data tidak sesuai dengan kenyataan.

Proses dialog berlangsung cukup efisien dengan partisipan yang tepat serta isu yang sudah terarah. Selain menyampaikan argumen, partisipan workshop mengharapkan lebih banyak forum-forum dialog yang melibatkan seluruh stakeholder terutama petani.

“Petani butuh akses pasar yang luas serta akses informasi terhadap perkembangan harga komoditas baik secara nasional dan juga internasional”, jelas pad Adis mewakili petani yang hadir.

Hasil workshop menegaskan perlunya membangun sistem pangan yang inklusif, dimana aktor kunci sistem pangan adalah pemerintah, masyarakat petani dan sektor swasta (skala industri besar dan industri kecil menengah) bekerjasama dan membangun pola kerjasama terintegrasi dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional yang lebih kuat, sehingga bisa berjalan lebih efisien dan efektif disertai adanya jaminan atas ketersediaan pasokan komoditas pangan yang beragam di pasar, dengan harganya yang terjangkau serta mempunyai kualitas gizi yang baik untuk di konsumsi oleh masyarakat.

Inisiasi Pengembangan Sistem Data dan Standar Produksi Kayu Manis

Glokalisasi Standar Nasional untuk Memenuhi Pemasaran Internasional

Kerinci (16/10/2010) – Kayu manis merupakan salah satu rempah asli Indonesia yang memiliki pesona di pasar global, karena sebagian besar kebutuhan kayu manis dunia dipasok dari Indonesia, terutama Kerinci. Kayu manis dari Kerinci populer karena kandungan volatil yang tinggi. Kabupaten Kerinci yang terletak 3.805 mdpl adalah kawasan penghasil pertanian dan perhutanan. Tanah yang subur adalah anugerah dari tingginya kandungan belerang dari Gunung Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Tak heran jika kopi dan kayu manis berlimpah di Kerinci.

Kayu manis, merupakan produk tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK / NTFP) yang secara administratif berada dalam naungan kebijakan Kementerian Kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P38 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memungkinkan petani kayu manis menjadi bagian dari sistem pengelolaan hutan lestari dilaksanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial. Di Kabupaten Kerinci, ijin perhutanan sosial berada dalam tanggung jawab Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kerinci.

KPHP Kerinci mendorong agar kelompok tani yang memiliki ijin perhutanan sosial memiliki rencana kerja dan rencana hasil pemasaran produk HHBK. Namun diakui oleh Kepala KPHP Kerinci, Neneng Susanti, bahwa pihaknya kurang dapat mendampingi petani dan memantau hasil produksi kayu manis.

“KPHP kekurangan sumber daya yang dapat mengawal implementasi perhutanan sosial. Sementara ini baru ada satu kelompok tani di Desa Masgo, Kecamatan Gunung Raya yang secara intensif kami dampingi. Ada 20 petani di desa itu (Masgo) yang juga menghasilkan kayu manis,” ungkap Neneng.

Sebagai salah satu produk rempah, kayu manis atau di Kerinci disebut “kulit manis” patut mendapat perhatian khusus, mengingat besarnya kebutuhan dunia terhadap tanaman ini. Dalam penelusuran rantai nilai perdagangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, ditemukan jika tidak ada standar baku produksi hingga penanganan pasca panen yang menjadi acuan bagi smallholder (petani dan pedagang kecil). Kasus yang banyak ditemukan adalah rendahnya kesadaran keselamatan dalam pemanenan kayu manis.

Abduhrahman, salah satu pedagang di Kabupaten Kerinci mengatakan, “Petani atau pekerja pakai alat yang tidak sesuai peruntukan dan mengabaikan K3S. Misalnya mereka pakai pisau dapur untuk memisahkan kulit kayu dengan batang. Ketika pekerja mengalami luka dan darahnya merembes pada kulit manis, berpengaruh pada cacatnya kualitas.”

Dalam diskusi multipihak dan lobi yang dilakukan Penabulu di Kabupaten Kerinci, baik smallholder maupun KPHP sangat terbuka dengan rencana inisiasi pengembangan sistem data yang dapat terintegrasi dengan program perhutanan sosial. Jika kelak ada sistem data yang mampu melacak ketelusuran produk kayu manis, maka standar produksi sejak dari budidaya, pemanenan, hingga pasca-panen, termasuk muatan budaya lokal menjadi sangat dibutuhkan oleh petani dan pedagang agar kualitas kayu manis dari Kerinci. Peneliti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Ghent University Belgia menyatakan kesediaannya mendukung penyusunan standar operasional prosedur (SOP) untuk produksi dan pasca-panen bagi petani kayu manis di Kerinci. Semua pihak bersepakat memiliki misi yang sama untuk memperbaiki rantai nilai kayu manis Kerinci yang di Eropa dikenal dengan sebutan “Koerintji Cinnamon”. (NP)