Isu Perubahan Iklim Dalam RPD 2023-2026 Bersifat Wajib dan Mendesak


Isu Perubahan Iklim Dalam RPD 2023-2026 Bersifat Wajib dan Mendesak

MESKI sering diterpa bencana akibat perubahan iklim, namun pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum memiliki Dokumen kajian Resiko Bencana. Dokumen Kajian Resiko bencana Lembata sudah kadaluarsa karena dibuat tahun 2015.

Ironisnya, di dalam Rancangan Pembangunan jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terlihat program pembangunan daerah yang bertujuan memitigasi dampak perubahan iklim serta rencana Kontignesi di lapangan jika sesewaktu bencana terjadi.

Dokumen Kajian Resiko bencana Lembata yang dikantongi Badan Penanggulangan Resiko Bencana (BPBD) Kabupaten Lembata, sudah kadaluarsa karena dibuat tahun 2015.

Dokumen tersebut penting menjadi acuan bagi satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD) membuat Rencana strategis (Renstra), rencana kerja (renja) hingga Rencana Kerja Anggaran (RKA) untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang terus terjadi bahkan telah memakan korban jiwa di Kabupaten Lembata.

Hal tersebut menyeruak dalam pertemuan terbatas antara Yayasan Barakat dan sejumlah aktifis lingkungan Lembata, dengan anggota DPRD, daerah pemilihan Ile Ape dan Lebatukan.

Melalui program “Amplifying Voices For Just Climate Action” yang didukung oleh HIVOS Indonesia, BARAKAT yang mewakili Koalisi Adaptasi Di Lembata, menggelar diskusi tentang penting dan mendesaknya isu perubahan iklim masuk dalam  Rencana Pembangunan Daerah (RDP) 2023-2026.

Diskusi yang dipandu mantan anggota DPRD Lembata, Bediona Philipus di gelar di aula kantor Barakat, Sabtu, 26 februari 2022, dihadiri lima anggota DPRD Dapil dua serta aktivis lingkungan.

Andris Koban, Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana Kabupaten Lembata menggambarkan, ancaman atau resiko bencana di Kabupaten Satu pulau itu sangat banyak.

“Kita semua harus memodifikasi diri karena terjadi perubahan iklim. Peningkatan tinggi muka laut di SGB bungsu, pesisir Barat Kota Lewoleba, menyebabkan  pantai semakin jauh hingga 88 Meter, peningkatan emisi gas di Ile Ape, penataan daerah tangkapan air di Ile Ape dan Lebatukan, ancaman bencana vulkanis dengan munculnya 3 Buah Gunung api bawah laut, bencana non alam seperti hama dan penyakit. Semuanya butuh penanganan multypihak,” ujar Andris Koban.

Sementara itu, peneliti muda, Piter Pulang, menjelaskan pentingnya penyadartahuan isu perubahan iklim dan mitigasinya bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

“Ini Kelemahan SKPD kita. Namun peluang starting awal dalam RPD 2003-2006. Isu lingkungan dan kebencanaan alam harus masuk,” ujar Piter Pulang.

Sementara itu Direktur Yayasan Barakat, Benediktus Bedil, menjelaskan, sekuat apapun teriakan tentang perbaikan dan adaptasi perubahan iklim, namun jika pemerintah tidak memasukan upaya mitigasi ke dalam perencanaan pembanguan, maka pekerjaan para aktivis semakin berat,” ujar Benediktus Bedil.

Namun menurutnya, upaya penyadartahuan kepada Pemerintah harus terus dilakukan.

Anton Leumara, anggota DPRD Lembata mengatakan, pihaknya siap mengawal isu perubahan iklim untuk masuk dalam RPD tahun 2023-2026.

Namun dikatakan, LSM dan DPRD Lembata harus bisa memastikan agar dasar hukum pengerjaan isu tersebut dapat cukup kuat dan tidak menimbulkan keraguan di  SKPD, jika telah menjadi renstra, Renja hingga RKA di tingkat SKPD.

Baik Aktivis Lingkungan maupun Anggota DPRD yang menggelar diskusi tersebut sepakat memperjuangkan isu perubahan iklim masuk menjadi agenda kerja daerah, dimulai dengan perjuangan memasukan isu tersebut menjadi Prioritas 1 dalam tahapan perencanaan pembangunan yang dimulai dari Musrenbang. (*S/Hj).

Sumber: https://humanitarianjournal.com/isu-perubahan-iklim-dalam-rpd-20232026-bersifat-wajib-dan-mendesak