Jakarta (23/03/2020) – Indonesia merupakan salah satu negara pemasok rempah dunia. Negara tujuan perdagangan rempah dari Indonesia tersebar di negara-negara Eropa, Asia Timur, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Bahkan, untuk merespon tingginya permintaan rempah dari pasar global, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menginstruksikan gerakan tiga kali ekspor (Gratieks) bagi produk pertanian Indonesia, termasuk beberapa jenis tanaman rempah. Gratieks ini turut juga mendorong peningkatan produksi, peningkatan nilai tambah, dan peningkatan daya saing di tiap rantai pasoknya. Perhatian dan penanganan serius terhadap rantai pasok rempah harus dilakukan oleh banyak pihak, terutama masih adanya notifikasi jamur dalam produk rempah yang berakibat penolakan dan pengembalian dari negara tujuan. Penolakan dan pengembalian rempah Indonesia berkaitan erat dengan ketertelusuran penanganan pasca-panen.
Civic Engagement Alliance (CEA) senantiasa mendorongkan adanya keterkaitan antar pihak (multi stakeholder) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani (smallholder) rempah di Indonesia. Melalui kerja bersama yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar petani, khususnya petani dan pedagang kecil rempah memiliki akses pasar. Terbukanya pasar rempah di pasar global, serta ditambah Gratieks, dapat menjadi angin segar bagi sektor pertanian Indonesia, tentu dengan syarat produk yang diperdagangkan ke luar Indonesia dapat terlacak asal usul budidaya dan penanganan pasca panen.
Hingga saat ini, produk rempah Indonesia tingkat kualitasnya ditentukan oleh eksportir untuk memenuhi syarat dari pembeli di negara tujuan. Eksportir menjadi penentu nasib petani dan pedagang kecil. Sedangkan pemerintah (di tingkat daerah maupun nasional) belum memiliki alat untuk mengawasi dan merekam jejak produk rempah Indonesia. Dalam kesempatan diskusi dan audiensi bersama Dewan Rempah Indonesia (DRI), pelaku usaha, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Balai Karantina menyepakati perlunya regulasi penanganan rantai pasok rempah untuk melindungi keaslian rempah Indonesia.
“Selama ini sebenarnya sudah ada beberapa panduan teknis mengenai budidaya, pasca-panen, ekspor produk pertanian, namun tidak terintegrasi. Melalui engagement antar pihak yang diinisiasi Penabulu dan ICCO, diharapkan dapat menghasilkan panduan teknis penanganan rantai pasok rempah yang terintegrasi sejak dari petani hingga eksportir. Dalam panduan ini harus jelas mekanisme pengawasan implementasinya,” jelas Ita Munardini, Kepala Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan. Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standar Penanganan Rantai Pasok Pala dan Lada pada 3 Desember 2019 di Komplek Kementerian Pertanian.
Dalam penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanaganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada, dilakukan dengan melibatkan dua perusahaan ekspor yaitu PT Alamsari Interbuana dan PT Cinquer Agro Nusantara (CAN) yang secara praktis memahami kebutuhan pasar global dan mendapat supply bahan baku dari kelompok tani yang secara langsung menjadi penyedia bahan baku bagi kedua perusahaan tersebut. Penyusunan SOP dilakukan tidak saja berbasis literasi, namun uji lapangan dilakukan untuk melihat kesiapan petani dan pelaku usaha menerapkan SOP, serta kapasitas jajaran Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha dan Balai Karantina Kementerian Pertanian dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi SOP ini.
SOP Penanganan Rantai Pasok untuk Komoditas Pala dan Lada akan dilengkapi dengan platform Data Komoditas Terpadu (DAKOTA) sebagai alat untuk memastikan penerapan SOP di tingkat petani, pedagang kecil, dan eksportir, serta melacak sumber bahan baku maupun kota atau negara tujuan komoditas rempah diperdagangkan. Di era digital seperti saat ini, data ketertelusuran merupakan nilai lebih dalam perdagangan, khususnya komoditas pertanian dan perkebunan.
Caecilia Afra Widyastuti, Spice Lobbyist Specialist, menyebutkan jika SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas dengan DAKOTA adalah dua alat yang tidak dapat dipisahkan untuk menjamin kualitas rempah. “Menggunakan DAKOTA, kita dapat menelusuri bagaimana perlakuan petani dan pedagang pada pala dan lada milik mereka. Selain itu, petani dan pedagang juga dapat melacak kemana pala atau lada dijual mereka oleh eksportir. Jadi bukan tidak mungkin pembeli dari negara tertentu dapat langsung meminta kepada eksportir untuk mendatangkan rempah dari petani di suatu tempat, karena ada jaminan penanganannya. Ini yang disebut dengan keterbukaan akses pasar,” tegasnya dalam Workshop Pencermatan Draft SOP Penanganan Rantai Pasok pada 23 Januari 2020.
Sejak tahun 2018, Penabulu menjadi salah satu implementor CEA di Indonesia dengan berfokus pada Pathway 3 yaitu menguatkan smallholder rempah dalam penyelenggaraan bisnis atau perdagangan yang berperspektif hak asasi manusia. Isu ini memiliki tantangan tersendiri, mengingat konteks hak asasi manusia tidak terlalu diperhatikan dalam pembangunan sektor pertanian yang masih tradisional. Dalam pertanian dan perdagangan rempah, sebagian besar petani menjalankan tradisi budidaya turun temurun, mengingat juga usia tanaman rempah biasanya berumur panjang. Menyadarkan petani mengenai keselamatan kerja di area perkebunan rempah bukan suatu hal yang mudah, karena mereka beranggapan yang dilakukan adalah hal yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Demikian halnya dengan fungsi pengawasan dalam budidaya dan alur perdagangan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, tidak cukup optimal. Pemerintah tidak optimal melakukan fasilitasi dan mengawasi penyelenggaraan bisnis rempah di Indonesia.
Kesadaran pemerintah baru tersentak ketika Syahrul Yasin Limpo diangkat sebagai Menteri Pertanian dan menerapkan target peningkatan ekspor dalam waktu lima tahun. Gratieks diharapkan mampu memberikan kontribusi positif untuk ekonomi nasional dan kesejahteraan petani (rempah) dalam lima tahun ke depan. Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha yang semula resisten dengan ajakan Penabulu untuk menjadi bagian dari upaya penguatan petani rempah dan penyelenggaraan perdagangan rempah yang berperspektif hak asasi manusia, menjadi lebih responsif. Bahkan SOP Penanganan Rantai Pasok Komoditas Pala dan Lada menjadi target output dari Sub Direktorat Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun anggaran 2020. (NP)