Indepth Interview Komoditas Kedelai
Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia
Bandung, (04/09/2019). Kedelai dapat tumbuh dinegara tropis seperti di Indonesia, namun hasilnya tidak seoptimal di negara- negara subtropis. Kedelai lokal memiliki umur tanaman lebih singkat 2,5 – 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 – 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tetapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. Bila varietas lokal umumnya masih berproduksi di bawah 2 ton per hektar dan produktivitas terbesar seperti di Grobogan adalah 2,8 ton per hektar, maka kedelai impor dapat mencapai 3 ton per hektarenya. Biji impor pun umumnya lebih besar. Lemahnya produktivitas kedelai lokal tersebut tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas. Saat ini kedelai Indonesia (Non GMO/Premium) belum dapat bersaing dengan kedelai impor (umumnya GMO).
Secara umum kedelai lokal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kedelai impor yang umumnya GMO. Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal sebagai bahan baku pembuatan tahu. Menurut hasil di lapangan tahu hasil kedelai lokal lebih lezat, rendemennya pun lebih tinggi, kandungan gizi lebih unggul ketimbang impor dan risiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe yang saat ini menjadi fokus utama pemerintah. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam, kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya, bahkan dapat kurang empuk.
Riset “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia” menempatkan Kedelai sebagai komoditas unggulan yang perlu dikembangkan mengingat konsumsi kedelai dalam negeri sangat tinggi, baik untuk industri dan pangan sehari-hari. Riset komoditas kedelai dilakukan di wilayah Jawa Barat dengan pertimbangan produksi kedelai di Jawa Barat cukup stabil jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Narasumber yang berhasil ditemui oleh Tim Peneliti Penabulu Foundation adalah Bapak Dadi dari Forum Tempe Indonesia.
Dadi menjelaskan bahwa kebutuhan kedelai Indonesia mencapai 3 juta ton per tahun sedangkan produksi nasional menurut BPS sekitar 600-800 ribu ton per tahun sehingga hampir 70-80 persen sisa kebutuhan kedelainya dari impor. Kedelai memang bisa tumbuh di negara tropis seperti Indonesia, tetapi hasilnya tidak seoptimal di negara- negara subtropis. Produktivitas kedelai terbesar Indonesia di Grobokan yang mana dapat mencapai hingga 2,8 ton per sekali tanam per hektar akan tetapi kedelai Indonesia (Non GMO) tidak bisa berkompetisi dengan kedelai GMO.
“Kedelai produk petani lokal kalah dengan perusahaan besar yang mengimpor kedelai GMO. Hal ini karena petani lokal sebagai pemasok utama produk kedelai premium (Non GMO) sulit membudidayakan kedelai premium, karena untuk dapat membudidayakannya butuh sertifikasi/perijinan pangan sehat yang proses dan biaya pembuatannya menyulitkan petani lokal”, jelas Dadi.
Saat ini, tempe sudah diakui pemerintah Indonesia sebagai salah satu warisan budaya tak benda (Entingible Heritage). Sedang diajukan ke UNESCO agar tempe diakui oleh dunia. Tempe juga sebagai pangan fungsional karena banyak manfaatnya seperti Protein, vitamin, beberapa senyawa aktif yang dihasilkan proses fermentasi tempe, serta lemak yang rendah dibandingkan dengan nutrien sumber protein yang lain seperti ayam. Dunia internasional mengakui bahwa tempe masuk dalam 9 superfood karena manfaatnya ada komponen bioaktif anti kanker.