Lokakarya Desa, Korporasi, dan Uji Tuntas HAM
Memulai Lobi Dan Advokasi Sejak Dari Desa
Bogor (04/07/2019) – Pembangunan desa yang ideal sesuai UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah berdampak pada menguatnya kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi sumber daya desa, berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya teknologi, dan sumber daya ekonomi. Adanya asas rekognisi dan subsidiaritas, maka Desa memiliki kewenangan membangun kemandirian dalam kerangka “Desa Membangun” yang bersifat transparan, akuntabel, dan partisipatif. Oleh karenanya, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi sangat penting bagi Desa untuk melibatkan masyarakat secara aktif.
Dalam upaya memastikan ekosistem di sekitarnya agar terus lestari dan untuk memastikan kemandirian masyarakat dan kelembagaan di desa, masyarakat dan pemerintahan desa membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sumber daya alam di Indonesia yang melimpah, menjadi potensi alam yang dapat dikelola Desa sekaligus dapat dimanfaatkan oleh korporasi/pihak swasta dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, sensitivitas investasi korporasi swasta dalam kaitannya dengan analisis risiko terlanggarnya hak-hak warganegara harus dipahami dan dikuasai oleh masyarakat dan pemerintahan desa.
Untuk menguatkan lobi dan advokasi yang dilakukan mitra CEA, maka implementasi di tahun 2019 ini pun dimulai dengan memperhatikan aktivitas perdagangan dan korporasi sejak dari hulu yang berada di perdesaan. Agar mitra CEA paham tentang tahapan pembangunan desa serta peluang lobi dan advokasi melalui mekanisme perencanaan pembangunan desa, Penabulu mengadakan Lokakarya “Desa, Korporasi, dan Uji Tuntas HAM” di Gadog, Bogor pada 1-2 Juli 2019. Lokakarya ini diikuti oleh mitra CEA dan RESBOUND, dua program yang bersentuhan dengan isu penghormatan HAM dalam penyelenggaraan bisnis. Lokakarya ini difasilitasi oleh Budi Susilo, Stephanus Mulyadi, dan Sri Purwani.
Budi Susilo, memantik forum dengan sebuah pertanyaan kritis, “Bisakah Pemerintah Desa melanggar HAM? Bisa sekali. Terkadang Pemerintah Desa tidak sadar tentang hak komunal, adat, dan budaya.”
Desa memegang peran penting dengan sejarah yang panjang itu dan masa-masa desa tidak diperhatikan, dan yang terpenting itu adalah RPJMDes dan tim penyusun. Dalam melakukan analisis dalam pembuatan RPJMDes itu tidak mudah. Soal partisipasi itu sangat penting dan yang menjadi penting BPD, mereka merukan usulan dari masyarakat. Pelibatan korporasi dalam pembangunan desa biasanya dilakukan oleh CSR. Hal inilah yang memungkinkan perusahaan duduk bersama Pemerintah Desa untuk melakukan kajian RPJMDes.
Selama dua hari, fasilitator dan peserta berdiskusi mengenai strategi lobi ke Pemerintah Desa. Seringkali kasus-kasus yang ditemukan di lapangan adalah perusahaan melakukan kegiatan karitatif atau pemberdayaan kepada kelompok-kelompok di desa namun Pemerintah Desa tidak tahu. Hal ini termasuk dorongan agar mitra CEA yang sedang mengembangkan program dengan locus di desa turut menyelaraskan dengan RPJMDes di desa yang bersangkutan. Melalui sinergi program, diharapkan mampu meminimalisir pelanggaran HAM yang terjadi dalam pembangunan desa.*(NP)