Indepth Interview Komoditas Udang

Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia

Gresik, (04/09/2019). Budidaya udang Vaname merupakan pasar potensial di Indonesia, salah satunya karena saat ini sektor budidaya udang tambak belum banyak pesaing. Sektor budidaya udang vaname juga memiliki permintaan pasar luar negeri yang lebih banyak dibanding permintaan pasar dalam negeri dengan rata-rata kontribusi volume ekspor mencapai 85%. Walaupun demikian permintaan yang tinggi belum diimbangi dengan ketersediaan bahan baku yang cukup. Industri udang mengikuti pola musiman, sehingga ketika low season ketersediaan bahan baku hanya mampu memenuhi kebutuhan 50 %. Sedangkan ketika high season ketersediaan bahan baku selalu cukup.

Sekitar 70 % dari budidaya udang di Indonesia masih menjalankan praktik tambak tradisional atau tambak rakyat. Selain petambak-petambak rakyat, pihak lain yang melakukan budidaya tambak udang vaname adalah Perusahaan Cold Storage dan Hatchery.

“Selama ini belum ada sinergi antara pemerintah dengan swasta. Pendampingan teknis dan monitoring penyakit dilakukan oleh perusahaan. Bahkan kini, tambak-tambak rakyat memiliki laboratorium sendiri. Sejauh ini belum ada kolaborasi antara petambak, perusahaan dan pemerintah  pada budidaya udang Vaname namun di sector udang hasil tangkap ia tidak mengetahuinya. Belum ada kemitraan antara petambak perusahaan dengan petambak rakyat, meskipun sebenarnya bisa diupayakan”, Jelas Zainul, Petani Budidaya Udang Vaname.

Selanjutnya, narasumber menjelaskan lagi bahwa isu utama dalam komoditas udang vaname adalah ketersediaan produksi udang dimana permintaan jauh lebih tinggi dibanding ketersediaan bahan baku. Artinya seberapapun banyaknya udang yang dihasilkan pasti akan terbeli karena pembeli sangat banyak. Selain itu, aktivitas produksi  pembudidaya/petambak yang kurang sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ditentukan. Dan budidaya udang Vaname memiliki resiko yang tinggi terhadap penyakiti yang berbasis lingkungan dan virus.

Disamping itu, pada rantai nilai produksi udang vaname, budidaya dimulai dengan pengadaan bahan baku (benih, pakan, energi, obat dan lain-lain). Bibit/benur yang diperlukan 1 ha tambak sejumlah satu juta ekor dengan ukuran post larva (PL) 8 – PL 12. Kebutuhan pakan sebesar 1,4 x jumlah produksi yang dihasilkan. Mayoritas dalam 1 ha tambak kurang lebih menghasilkan 20ton udang siap panen, sehingga pakan yang dibutuhkan sebanyak 28 ton. Artinya untuk menghasilkan udang seberat 1 kg dibutuhkan pakan sebanyak 1,4 kilogram. Saran produksi yang dibutuhkan meliputi pompa, kincir dan plastik HDPE (High Density Polietylene). Mulai dari bibit dan saprotan petambak mendapatkanya dari perusahaan-perusahaan Hatchery di Situbondo, Bali dan Rembang. Induk perusahaan benur berada diluar negeri sedangkan perusahaan-perusahaan lokal mengimpor bahan baku dari Amerika Serikat. Sedangkan produsen-produsen sarana produksi tersebar di Jawa Timur, meskipun terdapat juga sarana produksi yang diimpor dari Taiwan dan China dimana saprotan tersebut telah memiliki standar mutu yang berbeda dengan lokal.

“Selain itu, selama ini belum ada skema khusus bagi petambak udang. Para petambak pemula lebih banyak menggunakan modal mereka sendiri, dimulai dari modal kecil atau dukungan modal dari orang tua. Sebagian petambak juga menggantungkan modal kepada tengkulak yang tidak membutuhkan persyaratan legal formal’, jelas Zainul di akhir interview. Ada harapan besar dari sumber agar pemerintah dan juga swasta lebih memperhatikan persoalan akses modal bagi petambak.