Workshop Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia

Komoditas Kambing dan Domba, Kedelai, dan Manggis

Bandung, (29/10/2019). Indonesia Business Council for Sustainable Developemnt (IBCSD) melalui program “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia” menggandeng Penabulu Foundationan melakukan kajian mengenai potensi peran sektor swasta secara inklusif dalam mobilisasi investasi untuk pengembangan sistem pangan. Kajian ini dilakukan pada rantai pangan dalam komoditas terpilih, khususnya komoditas yang difokuskan dalam program ini, yaitu kedelai, udang, manggis, kambing dan domba, serta udang. Konstelasi sistem pangan tersebut berupa karakteristik rantai nilai dan peta sistem pangan; isu-isu dalam sistem pangan (hambatan dan tantangan); peluang Public and Private Partnership ; lingkungan investasi komoditas; dan peluang investasi beserta dampaknya.

Kajian bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri, kompleksnya permasalahan pangan yang dihadapi, dan besarnya tantangan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya pangan nasional bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan suatu kebijakan pangan nasional yang terintegrasi dengan kebijakan sektoral terkait. Kajian ini dilakukan di Jawa Timur untuk komoditas Udang dan Kopi, serta Jawa Barat untuk komoditas Kambing dan Domba, Kedelai, dan Manggis.

Workshop “Mobilisasi Partisipasi dan Investasi Sektor Swasta untuk Sistem Pangan Inklusif di Indonesia” merupakan bagian dari proses kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Penabulu Foundation. Workshop ini melibatkan stakeholder yang berhubungan dengan komoditas Kambing dan Domba, Manggis, serta Kedelai yaitu petani, pemerintah, tengkulak, eksportir dan pelaku bisnis lainnya di komoditas tersebut serta empat Narasumber yang bersentuhan langsung dengan isu pangan yaitu Dr. Ronnie Susman Natawidjaja (Direktur Ousat Studi Pangan Berkelanjutan, Universitas Padjajaran), Adis Budiana (Ketua Kelompok Tani Manggis “Warga Mukti”, Wanayasa), Ir. H. Yudi Guntara (Ketua Himpunan Peternak Kambing dan Domba Indonesia), dan Dita Fitriani, S.P (Marketing Researcher PPT Ewindo).

Workshop bertujuan untuk memaparkan hasil riset serta mengkonfirmasi apakah data riset telah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, selain itu juga untuk mengklarifikasi dan mempersilahkan peserta workshop mengolah hasil riset sementara jika data tidak sesuai dengan kenyataan.

Proses dialog berlangsung cukup efisien dengan partisipan yang tepat serta isu yang sudah terarah. Selain menyampaikan argumen, partisipan workshop mengharapkan lebih banyak forum-forum dialog yang melibatkan seluruh stakeholder terutama petani.

“Petani butuh akses pasar yang luas serta akses informasi terhadap perkembangan harga komoditas baik secara nasional dan juga internasional”, jelas pad Adis mewakili petani yang hadir.

Hasil workshop menegaskan perlunya membangun sistem pangan yang inklusif, dimana aktor kunci sistem pangan adalah pemerintah, masyarakat petani dan sektor swasta (skala industri besar dan industri kecil menengah) bekerjasama dan membangun pola kerjasama terintegrasi dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional yang lebih kuat, sehingga bisa berjalan lebih efisien dan efektif disertai adanya jaminan atas ketersediaan pasokan komoditas pangan yang beragam di pasar, dengan harganya yang terjangkau serta mempunyai kualitas gizi yang baik untuk di konsumsi oleh masyarakat.

Inisiasi Pengembangan Sistem Data dan Standar Produksi Kayu Manis

Glokalisasi Standar Nasional untuk Memenuhi Pemasaran Internasional

Kerinci (16/10/2010) – Kayu manis merupakan salah satu rempah asli Indonesia yang memiliki pesona di pasar global, karena sebagian besar kebutuhan kayu manis dunia dipasok dari Indonesia, terutama Kerinci. Kayu manis dari Kerinci populer karena kandungan volatil yang tinggi. Kabupaten Kerinci yang terletak 3.805 mdpl adalah kawasan penghasil pertanian dan perhutanan. Tanah yang subur adalah anugerah dari tingginya kandungan belerang dari Gunung Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Tak heran jika kopi dan kayu manis berlimpah di Kerinci.

Kayu manis, merupakan produk tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK / NTFP) yang secara administratif berada dalam naungan kebijakan Kementerian Kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P38 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memungkinkan petani kayu manis menjadi bagian dari sistem pengelolaan hutan lestari dilaksanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial. Di Kabupaten Kerinci, ijin perhutanan sosial berada dalam tanggung jawab Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kerinci.

KPHP Kerinci mendorong agar kelompok tani yang memiliki ijin perhutanan sosial memiliki rencana kerja dan rencana hasil pemasaran produk HHBK. Namun diakui oleh Kepala KPHP Kerinci, Neneng Susanti, bahwa pihaknya kurang dapat mendampingi petani dan memantau hasil produksi kayu manis.

“KPHP kekurangan sumber daya yang dapat mengawal implementasi perhutanan sosial. Sementara ini baru ada satu kelompok tani di Desa Masgo, Kecamatan Gunung Raya yang secara intensif kami dampingi. Ada 20 petani di desa itu (Masgo) yang juga menghasilkan kayu manis,” ungkap Neneng.

Sebagai salah satu produk rempah, kayu manis atau di Kerinci disebut “kulit manis” patut mendapat perhatian khusus, mengingat besarnya kebutuhan dunia terhadap tanaman ini. Dalam penelusuran rantai nilai perdagangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, ditemukan jika tidak ada standar baku produksi hingga penanganan pasca panen yang menjadi acuan bagi smallholder (petani dan pedagang kecil). Kasus yang banyak ditemukan adalah rendahnya kesadaran keselamatan dalam pemanenan kayu manis.

Abduhrahman, salah satu pedagang di Kabupaten Kerinci mengatakan, “Petani atau pekerja pakai alat yang tidak sesuai peruntukan dan mengabaikan K3S. Misalnya mereka pakai pisau dapur untuk memisahkan kulit kayu dengan batang. Ketika pekerja mengalami luka dan darahnya merembes pada kulit manis, berpengaruh pada cacatnya kualitas.”

Dalam diskusi multipihak dan lobi yang dilakukan Penabulu di Kabupaten Kerinci, baik smallholder maupun KPHP sangat terbuka dengan rencana inisiasi pengembangan sistem data yang dapat terintegrasi dengan program perhutanan sosial. Jika kelak ada sistem data yang mampu melacak ketelusuran produk kayu manis, maka standar produksi sejak dari budidaya, pemanenan, hingga pasca-panen, termasuk muatan budaya lokal menjadi sangat dibutuhkan oleh petani dan pedagang agar kualitas kayu manis dari Kerinci. Peneliti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Ghent University Belgia menyatakan kesediaannya mendukung penyusunan standar operasional prosedur (SOP) untuk produksi dan pasca-panen bagi petani kayu manis di Kerinci. Semua pihak bersepakat memiliki misi yang sama untuk memperbaiki rantai nilai kayu manis Kerinci yang di Eropa dikenal dengan sebutan “Koerintji Cinnamon”. (NP)

Penabulu Libatkan SNV dan Mitranya untuk Riset Aksi Persepsi Sektor Bisnis terhadap WASH

Penabulu menjalin kerja sama dengan SNV Netherland untuk Program Voice for Change Partnership (V4CP) dalam melakukan penelitian terkait Persepsi Sektor Bisnis terhadap WASH. Penabulu mendesain penelitian ini sebagai Riset Aksi, yaitu Riset yang melibatkan para pemangku kepentingan untuk menentukan tujuan dan pengumpulan informasi. Tahap awal yang dilakukan Penabulu adalah melakukan pemetaan dan diskusi dengan melibatkan SNV dan Mitra SNV. Kegiatan ini dilakukan pada kurun waktu 2 Oktober s/d 5 Oktober 2019 di Lampung dan Sumatera Barat.

Kegiatan di Lampung dilaksanakan pada 2 dan 3 Oktober 2019 dengan melakukan serial diskusi. Diskusi pertama dilakukan di Kota Bandar Lampung pada 2 Oktober 2019bersama dengan WASH Specialist SNV, Ir. Bambang Pudjiatmoko. SNV mengakui bahwa selama program berjalan, belum ada upaya khusus yang dilakukan oleh SNV dan juga CSO Mitra untuk mempengaruhi sektor bisnis agar mempunyai pemahaman yang kuat terhadap WASH juga pendekatan CSO Mitra untuk mendapatkan CSR program WASH. “Baru sebatas mengumpulkan perusahaan dan CSO mempresentasikan kegiatan yang mereka lakukan dalam forum tersebut,” terang Ir. Bambang.

Pada tanggal 3 Oktober, dilakukan diskusi dengan Mitra SNV yaitu dari Mitra Bentala dan Yayasan Konservasi Way Seputih. Dalam diskusi tersebut direktur dan tim dari kedua lembaga terlibat penuh dan memberikan informasi secara aktif. Hasil dari diskusi adalah pemetaan perusahaan di Provinsi Lampung calon narasumber dan informasi yang ingin diketahui oleh mitra.

Kegiatan di Sumatera Barat dilakukan di Kota Padang dengan melibatkan PKBI Sumatera Barat dan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan (LP2M). Seperti halnya diskusi di Provinsi Lampung, kegiatan juga dilakukan untuk memetakan perusahaan di Provinsi Sumatera Barat calon narasumber dan informasi yang ingin diketahui oleh mitra.

Hasil dari pertemuan di Lampung dan Sumatera Barat adalah adanya daftar usulan perusahaan yang akan menjadi narasumber. Selain itu juga dikembangkan rencana pengumpulan data dan informasi serta rencana kerja terkait penelitian. Dalam rencana kerja tersebut, pelibatan mitra menjadi poin penting agar riset aksi ini bisa menjadi media belajar bagi mitra dan hasilnya sesuai dengan kebutuhan dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mitra.

Penandatanganan Kesepakatan Kerja Bersama Penabulu dan Dirjen Perkebunan

Penyusunan Standar Mutu Rempah pada Komoditas Pala dan Lada

Jakarta (02/10/2019) – Slogan “Mengembalikan Kejayaan Rempah Indonesia” sudah digaungkan Kementerian Pertanian dalam dua tahun terakhir. Bukanlah mustahil, mengingat Indonesia adalah gudangnya rempah terbaik dan rempah adalah komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Namun kejayaan itu dapat saja tidak terjadi jika rempah yang dihasilkan tidak sesuai standar yang dibutuhkan dalam perdagangan, khususnya perdagangan internasional.

Dalam kajian tentang standar produksi komoditas yang dilakukan Penabulu pada tahun 2018, belum ditemukan adanya kebijakan yang mengatur mengenai standar produksi dan jaminan kualitas hasil produksi. Bermula dari temuan tersebut, berbagai diskusi dilakukan bersama para pihak yang kompeten di bidang produksi dan perdagangan rempah, untuk kemudian diusulkan dalam lobi-lobi kepada Subdit Standardisasi, Mutu, dan Pembinaan Usaha, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun).

Tim dari Subdit Standarisasi, Mutu, dan Pembinaan Usaha pun merespons baik gagasan adanya standar mutu rempah, khususnya untuk komoditas pala dan lada, mengingat salah satu target Kementerian Pertanian adalah peningkatan volume ekspor rempah. Untuk mendapatkan volume ekspor yang besar, maka intervensi harus dilakukan sejak dari hulu agar petani mampu memproduksi rempah yang layak ekspor. Selain itu, ada pertimbangan mengenai perlunya kebijakan yang mendukung sistem pasar yang lebih inklusif, dengan pelibatan penuh petani (smallholders) di rantai nilai rempah.

“Ada banyak standar, tapi kurang tersosialisasikan. Selama ini petani mengacu pada spesifikasi yang diminta pedagang. Akibatnya tidak terkendali di lapangan. Maka dari kerja bersama ini diharapkan kolaborasinya jadi lebih baik, kami concern di regulasi sedangkan Penabulu diharapkan bisa membantu implementasinya,” ujar Ita Munardini, Kasubdit Standarisasi, Mutu, dan Pembinaan Usaha.

Bertempat di Kantor Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, pada Selasa (1/10) Kasubdit Standarisasi, Mutu, dan Pembinaan Usaha, Ita Munardini dan Manajer Progam CEA Penabulu, Nurul Purnamasari menandatangani Kesepakatan Kerja Bersama Penyusunan Standar Mutu Rempah. Salah satu hasil yang akan dicapai dari kerja bersama ini adalah SOP penerapan standar mutu dan kualitas komoditas lada dan pala secara nasional, untuk memperkuat kualitas hasil rempah petani serta perluasan akses pasar dan ekspor.

Penyusunan SOP dilakukan dengan melakukan kajian dan asesmen lapangan. Nantinya, SOP akan diujicobakan di Kabupaten Bangka Selatan untuk komoditas lada, serta di Kabupaten Minahasa Utara untuk komoditas pala.*(NP)