Indepth-Interview Komoditas Manggis

Wanayasa, Kabupaten Purwakarta

Wanayasa, (28/09/2019) – Petani manggis rakyat memiliki posisi paling lemah dalam hal informasi pasar dan harga, sehingga penentuan harga beli buah manggis di tingkat produsen (petani) relatif sangat rendah dengan kata lain terjadi gap harga yang cukup besar. Petani manggis rakyat berperan sebagai produsen dalam kegiatan produksi manggis. Petani pada umumnya mengusahakan tanaman manggis sebagai mata pencaharian sampingan (tambahan penghasilan), hal ini dikarenakan buah manggis merupakan buah musiman yang hanya dapat dipanen pada bulan-bulan tertentu dan pada musim tertentu khususnya ketika musim kemarau.

Menindaki persoalan tersebut, Indonesia Bussiness Council for Sustainable Development (IBCSD) berpartner dengan Penabulu Foundation melakukan riset untuk melihat lebih jauh rantai nilai komoditas manggis dengan tujuan memetakan peluang investasi dalam ranka meningkatkan kesejahteraan petani manggis dan menguatkan seluruh stakeholders yang terkait dengannya.

Tim Peneliti Penabulu Foundation melakukan indepth-interview dalam menggali informasi mengenai komoditas manggis. Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta menjadi lokasi pilihan karena dikenal sebagai produsen manggis terbesar di Jawa Barat serta telah memiliki Indeks Geografis. Interview dilakukan bersama Bapak Denis, petani Manggis Wanayasa dengan kepemilikan kebun sekitar 1 ha lebih.

Melalui interview tersebut diketahui bahwa pencampuran manggis Wanayasa dengan manggis dari daerah lain masih menjadi masalah klise hingga saat ini. Selain itu pemahaman petani manggis yang masih minim mengenai pengelolaan pasca panen, bahkan hingga ke persoalan sederhana seperti cara memetik dan mengkemas hasil panen. Disamping itu, musim panen yang hanya terjadi sekali dalam satu tahun menuntut petani untuk lebih bijak dalam mengelola pendapatan serta merawat kebun manggis pasca panen. Hal ini menjadi penting agar manggis wanayasa bisa terus menjadi produk unggulan dan berkembang pesat serta mampu memenuhi pasar ekspor secara konsisten.

Sejauh ini petani dengan pemerintah memiliki hubungan yang baik sehingga petani Manggis cukup terbantu dalam memasarkan hasil panennya. Sekalipun dalam pola hubungan tersebut terkesan pemerintah hanya sebagai penghubung antara petani dan eksportir, tetapi itu bisa menjadi peluang yang bagus untuk pengembangan selanjutnya agar petani Manggis bisa lebih berdaya dan mendapatkan akses pasar yang luas.

PERSPEKTIF SEKTOR BISNIS TERHADAP WASH

Memetakan Program CSR Mengidentifikasi Potensi Kolaborasi

Penabulu menjalin kerja sama dengan SNV Netherland untuk Program Voice for Change Partnership (V4CP) dalam melakukan penelitian terkait Persepsi Sektor Bisnis terhadap WASH. Penabulu mendesain penelitian ini sebagai Riset Aksi, yaitu Riset yang melibatkan para pemangku kepentingan untuk menentukan tujuan dan pengumpulan informasi. Kerja sama Penabulu dengan SNV-V4CP dilakukan pada 17 September 2019 sampai dengan 29 Maret 2019.

Riset dilakukan terhadap 18 perusahaan yang berada di Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Barat dan perusahaan yang berkantor di Jakarta meskipun wilayah operasionalnya bukan di provinsi tersebut. Perusahaan tersebut terdiri atas perusahaan internasional, nasional dan lokal. Berikut adalah poin-poin penting temuan riset.

Urgensi Pelibatan Sektor Bisnis dalam Program WASH

Program WASH (Water Access, Sanitation and Hygien) menjadi isu prioritas bagi masyarakat global termasuk Indonesia. Isu tentang WASH menjadi tujuan nomor 6 dari dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Namun, program WASH masih mengalami kendala khususnya dalam pendanaan karena hanya mengandalkan pendanaan dari pemerintah. Kebutuhan anggaran untuk membiayai akses universal untuk pasokan air adalah sekitar Rp. 253,8 triliun namun pemerintah pusat hanya sanggup menyediakan Rp. 52 triliun (atau 20%) hingga 2019.

Pendanaan Program WASH memerlukan kontribusi anggaran dari pemerintah provinsi dan daerah, serta peran berbagai pihak. Melibatkan bisnis atau sektor swasta menjadi salah satu cara potensial dalam mengatasi kesenjangan keuangan. Pelibatan pihak swasta melalui pemanfaatan sumber daya di bawah program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. SNV melalui program V4CP bekerja sama dengan Indonesia Business for Sustainable Development (IBCSD) dan Yayasan Penabulu melakukan riset aksi tentang persepsi perusahaan terhadap WASH dan potensi kolaborasi dalam program WASH.

Menggali Solusi melalui Riset Aksi

Dalam rangka melihat lanskap potensi pelibatan sektor bisnis guna mendukung program WASH, salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan riset. Model riset yang paling sesuai adalah Riset Aksi, yaitu pendekatan riset yang berorientasi pada pemecahan masalah, sehingga proses maupun hasil riset merupakan bagian dari tindakan untuk pemecahan masalah yang didefinisikan dan disepakati bersama. Riset mengkaji program CSR yang sudah dilakukan perusahaan dan peluang untuk kontribusi dalam pendanaan guna menutupi kesenjangan pembiayaan program WASH.

Riset dilakukan selama 6 bulan sejak Oktober 2018 sampai dengan Maret 2019 dan metodologi yang digunakan adalah Riset Kualitatif. Dalam riset ini, pemilihan informan ditentukan dengan menggunakan teknik snowball atau chain sampling. Pada tahap pengumpulan data, metode yang digunakan di antaranya focus group discussion (FGD), desk review dan wawancara mendalam (indepth interview). Riset dilakukan terhadap 18 perusahaan yang dipilih yang memenuhi beberapa kriteria antara lain; memanfaatkan sumber daya air dalam jumlah besar, sudah menjalankan program CSR, Sudah menjalankan program WASH, Beroperasi di wilayah Lampung atau Sumbar, Pernah bekerja sama dengan OMS.

Karakteristik dan Pola Program CSR

Di dalam perusahaan lokal, kebijakan terkait CSR baik dalam aspek program, pendanaan maupun pelaksanaan lebih banyak ditentukan oleh pimpinan tertinggi atau bahkan di level pemilik perusahaan. Perusahaan nasional, kebijakan ditentukan oleh kantor pusat di tingkat nasional, namun kantor regional dalam kondisi tertentu yang sudah ditentukan persyaratannya memiliki kewenangan untuk membuat keputusan. Dalam pelaksanaannya, perusahaan nasional menjalankan CSR melalui kemitraan, namun ada juga yang menjalankannya sendiri.

Perusahaan internasional dalam hal CSR menggunakan panduan yang bersifat global dan menjadi rujukan semua bagian perusahaan di semua tingkatan. Komitmen perusahaan internasional terhadap keberlanjutan—ekonomi, sosial dan lingkungan—menjadi poin penting dalam menjalankan program CSR. Panduan yang bersifat umum tersebut, dalam program CSR boleh diterjemahkan oleh regional dan nasional untuk mengembangkan program CSR berdasarkan situasi dan kebutuhan masing-masing. Dalam implementasinya, program CSR dilakukan dengan kemitraan. Bahkan mitra yang dilibatkan adalah mitra internasional yang bisa menjalankan program di berbagai regional. Namun, dalam kebutuhan tertentu perusahaan di tingkat regional maupun nasional bisa melibatkan mitra lain yang lebih memenuhi kualifikasi.

Riset mengategorikan perusahaan menjadi dua yaitu perusahaan swasta dan BUMN. Ditemukan bahwa kedua perusahaan tersebut menggunakan rujukan kebijakan yang sama dalam menjalankan CSR yaitu UU No. 47/2007 tentang Perseroan Terbatas serta peraturan turunannya. BUMN kemudian lebih teknis lagi menggunakan rujukan Peraturan Menteri BUMN. Namun, meskipun ketentuan tentang CSR belum ideal, banyak perusahaan yang menjalankan CSR secara komprehensif dengan mengacu kepada ISO 26000 Guidance on Social Responsibility.

Riset juga menemukan adanya pola karakter program CSR yang dijalankan berdasarkan core bisnis perusahaan. Pola tersebut terbangun di perusahaan ekstraktif, perusahaan perkebunan, perusahaan produsen pangan, perusahaan perbankan. Di perusahaan dengan bisnis inti terkait sumber daya alam, CSR kebanyakan di lakukan di wilayah Ring 1 dan bisa diperluas ke masyarakat. Riset juga menemukan adanya 3 model CSR yang dijalankan yaitu pertama Obligation CSR, Strategic CSR dan CSV atau Bisnis Inklusif. Perusahaan internasional dengan bisnis inti terkait sumber daya alam model CSR-nya adalah CSV/Bisnis Inklusif. Sebagian perusahaan internasional dan nasional yang kebanyakan memiliki bisnis inti jasa berada pada tingkat Strategic CSR  sedangkan perusahaan lokal baik dengan bisnis inti terkait sumber daya alam maupun jasa, berada pada tingkat Obligation CSR.

Potensi Kolaborasi dalam WASH

Riset juga menemukan bahwa banyak perusahaan yang sudah menjalankan program CSR pada lima pilar WASH yaitu stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga, sistem pengelolaan air limbah rumah tangga. Dari 18 perusahaan, sebanyak 13 perusahaan telah menjalankan CSR dengan program  WASH dan hanya lima yang belum menjalankannya. Dari 13 perusahaan tersebut terdapat empat perusahaan yang telah menjalankan lima pilar WASH, dua perusahaan menjalankan empat pilar WASH, tiga perusahaan menjalankan dua pilar WASH dan dua perusahaan hanya menjalankan satu saja pilar WASH.

Hasil temuan dari studi ini menemukan bahwa tidak semua perusahaan yang CSR pada isu WASH dilaksanakan secara khusus untuk WASH dan mengambil bagian dari lima pilar STBM. Banyak perusahaan yang berupaya mengintegrasikan program WASH ke dalam operasi bisnis mereka maupun dalam program CSR yang mereka lakukan. Sebagai contoh adalah GGPC yang mengintegrasikan perilaku hidup bersih dan sehat dalam pilar WASH ke dalam program Great Indonesia yang mereka lakukan. Contoh lain adalah integrasi oleh JAPFA dengan memasukkan pilar cuci tangan pakai sabun serta manajemen sampah di sekolah pada program JAPFA4 Kids. Riset menemukan adanya pola bahwa perusahaan menggarap isu WASH dikaitkan dengan bisnis inti yang dijalankan. Hal ini bisa dilihat dengan program Coca-Cola Forest maupun Program Menabung Air ataupun perusahaan Mondelez dalam program Cocoa Life.

Riset juga menemukan terbukanya peluang untuk kolaborasi dengan perusahaan. Hal ini terlihat terdapat delapan perusahaan yang sudah menjalankan program WASH di Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Barat dan bahkan empat di antaranya sudah bekerja sama dengan OMS. Riset menemukan model kerja sama juga dipengaruhi oleh strategi pelaksanaan program WASH yaitu ada yang langsung bekerja sama dengan OMS untuk program WASH namun ada yang bekerja sama dengan OMS melalui integrasi program CSR yang sudah ada. Untuk program WASH yang belum bekerja sama dengan OMS, diketahui bahwa program WASH mereka bersifat program jangka pendek dalam bentuk event atau juga charity sehingga cukup dikelola secara internal oleh perusahaan.

Temuan lainnya, ada perusahaan yang sudah bekerja sama dengan OMS namun belum menjalankan program WASH dan juga terdapat perusahaan yang sudah menjalankan CSR namun belum pada program WASH dan juga belum pernah bekerja sama dengan OMS. Bagi perusahaan yang sudah menjalankan program WASH dan bekerja sama dengan OMS, peluang kerja sama sangat besar. Akan tetapi untuk perusahaan yang belum menjalankan keduanya, perlu dilakukan pendekatan secara intensif.

Strategi Membangun Keterlibatan Sektor Bisnis dalam Program WASH

Riset menemukan bahwa 72% dari 18 perusahaan memiliki pengetahuan yang baik tentang WASH dan beberapa di antaranya bahkan memiliki tim yang Handal. Riset mengidentifikasi beberapa motif perusahaan dalam menjalankan CSR yaitu ekonomi, legal, etis dan operasional. Riset juga mengidentifikasi hambatan yaitu ideologis, keterkaitan dengan bisnis inti, ketersediaan anggaran, lack of knoweldge dan kesulitan dalam mencari mitra WASH.

Riset juga menemukan pandangan perusahaan terhadap OMS. Perusahaan melihat OMS memiliki kelemahan dalam membangun profil organisasi, transparansi dan akuntabilitas, komunikasi dan kolaborasi serta dalam pendokumentasian dan pelaporan. Namun OMS independen, memilik idealisme dan kuat dalam pemberdayaan masyarakat. Pihak OMS harus melakukan perbaikan diri yang mencakup Pola Komunikasi, Transparansi dan Akuntabilitas, Substansi Program dan Profesionalitas. Riset juga mengembangkan private sector enggament (PSE) strategy sebagai langkah untuk memulai membangun kolaborasi antara sektor bisnis dengan OMS dan rekomendasi untuk kolaborasi.

Dalam rekomendasi untuk PSE terdapat beberapa tahapan yang dimulai dari persiapan internal di organisasi. Pada tahap ini, organisasi dituntut untuk memperbaiki tata kelola organisasi dan membuat profiling organisasi yang menunjukkan keunggulan kompetitif serta melakukan identifikasi perusahaan termasuk di dalamnya aktor dan skema kerja sama. Tahap berikutnya persiapan melibatkan pihak eksternal yang dilakukan dengan memperluas jejaring dan menggalang dukungan dari pemerintah maupun asosiasi bisnis.

Setelah persiapan internal dan eksternal lakukan penjajakan kerja sama melalui diskusi Multi pihak untuk membangun komitmen dalam upaya berbagi sumber daya untuk menyelesaikan masalah bersama yang kemudian dilanjutkan dengan follow up komitmen dan jika dibutuhkan dilakukan capacity building tentang WASH kepada perusahaan yang masih minim pemahamannya tentang WASH.

Jika sudah ada peluang besar untuk berkolaborasi, pada tahap selanjutnya adalah pengembangan desain program. Poin penting dalam desain program adalah usulan berupa solusi untuk mengatasi masalah dengan menggunakan perspektif dan bahasa yang dipahami dan sesuai dengan perusahaan. Hal lain yang penting adalah program mengembangkan mekanisme pemantauan dan evaluasi dengan indikator yang jelas sebagaimana perusahaan biasa menggunakannya untuk mengukur kinerja perusahaan.

Pada tahap berikutnya adalah implementasi program. Pada bagian ini poin yang penting adalah komunikasi dan koordinasi yang baik. Organisasi harus meningkatkan profesionalitas dalam hal administrasi, pendokumentasian, pemantauan, pelaporan, publikasi serta evaluasi untuk mendapatkan pembelajaran dan perbaikan program.

 

Indepth Interview Komoditas Kopi

Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia

Jember, (12/09/2019). Indonesia adalah salah satu negara produsen dan eksportir kopi paling besar di dunia. Iklim Indonesia terbukti ideal untuk produksi kopi dan karenanya perkebunan-perkebunan banyak didirikan di Jawa, Sumatra dan Sulawesi, dengan perkebunan kopi terbesar terdapat di Jawa Timur. Berkaitan dengan komoditas-komoditas perkebunan, kopi adalah penghasil devisa terbesar keempat untuk Indonesia setelah minyak sawit, karet dan kakao. Dimulai dari tahun 1960 an, Indonesia telah menunjukkan peningkatan yang kecil namun stabil dalam produksi kopi dunia. Pada saat ini, perkebunan kopi Indonesia mencakup total wilayah kira-kira 1,24 juta hektar, 75% didominasi perkebunan robusta dan sisanya arabika. Lebih dari 90% dari total perkebunan dibudidayakan oleh petani skala kecil dengan luas kebun relatif kecil dengan rata-rata 1-2 hektar. Berlawanan dengan Vietnam, Indonesia tidak memiliki perkebunan kopi dalam skala besar, oleh karena itu lebih banyak kesulitan untuk menjaga volume produksi dan kualitas yang stabil. Sehingga daya saing kopi Indonesia di pasar internasional kurang kuat dan perlahan tersusul oleh Vietnam. Selain itu Indonesia juga masih tertinggal dalam perkembangan teknologi budidaya dan pasca panen. Sehingga Indonesia kalah secara kuantitas dan kualitas di pasar internasional yang saat ini memiliki segmentasi dan persyaratan pasar yang beragam.

Salah satu wilayah dengan produksi dan riset Kopi yang sudah cukup maju adalah Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), terletak di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Puslitkoka merupakan lembaga BUMN dengan fokus riset dan pengembangan kopi dan kakao. Puslitkoka berdiri sejak 1912 dan sejauh ini telah berhasil mengembangkan berbagai jenis varietas kopi dan kakao unggulan. Beberapa varietas kopi unggul hasil riset Puslitkoka antara lain, Gayo 1, Gayo 2, Komasti, Andongsari, Hibiro, 795, AS2K, dll. Selain riset pengembangan varietas unggul, Puslitkoka juga melakukan riset berbasis GAP (Good Agricultural Practices) dan GHP (Good Handling Practices) untuk menghasilkan SOP budidaya dan pasca panen kopi yang dapat digunakan oleh petani agar memperoleh hasil panen yang optimal. Hasil riset berupa varietas unggul dan SOP telah Puslitkoka sebar ke berbagai wilayah di Indonesia sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Tujuannya adalah peningkatan kualitas dan kuantitas kopi single variety di tiap daerah. Selain itu setiap varietas yang sudah dikembangkan dan diberdayakan oleh Puslitkoka diharapkan dapat menghasilkan kopi berkualitas specialty.

“Isu penting dalam komoditas kopi saat ini adalah maraknya permintaan kopi dari penikmat dan pecinta kopi ternyata mempengaruhi kegiatan produksi dari Puslitkoka. Sekarang ini penikmat dan pecinta kopi tidak hanya sekedar mencari kopi pahit atau asam saja. Jenis, asal dan proses pengolahannya pun permintaannya berbeda-beda. Sebagai contoh, penikmat kopi arabica tidak hanya sekedar asal menikmati kopi dengan rasa asam, tapi dia juga ingin tahu darimana kopi arabica tersebut berasal, kondisi geografis penanamannya serta proses pengolahannya,” jelas Ibu Faila – Tim Peneliti Sosial Ekonomi PUSLITKOKA.

Selanjutnya oleh Ibu Lia, yang mana juga salah satu Tim Peneliti Sosial Ekonomi PUSLITKOKA bahwa  semua hasil dari penelitian, budidaya, pasca panen dan pemasaran kopi dikemas menjadi satu dalam bentuk agrowisata kopi. Agrowisata kopi ini terletak di kantor pusat Puslitkoka di kab. Jember. Disini pengunjung bisa belajar tentang kopi mulai dari hulu sampai hilir serta bisa menikmati cita rasa kopi dari berbagai varietas yang sudah dikembangkan oleh Puslitkoka.

Indepth Interview Komoditas Udang

Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia

Gresik, (04/09/2019). Budidaya udang Vaname merupakan pasar potensial di Indonesia, salah satunya karena saat ini sektor budidaya udang tambak belum banyak pesaing. Sektor budidaya udang vaname juga memiliki permintaan pasar luar negeri yang lebih banyak dibanding permintaan pasar dalam negeri dengan rata-rata kontribusi volume ekspor mencapai 85%. Walaupun demikian permintaan yang tinggi belum diimbangi dengan ketersediaan bahan baku yang cukup. Industri udang mengikuti pola musiman, sehingga ketika low season ketersediaan bahan baku hanya mampu memenuhi kebutuhan 50 %. Sedangkan ketika high season ketersediaan bahan baku selalu cukup.

Sekitar 70 % dari budidaya udang di Indonesia masih menjalankan praktik tambak tradisional atau tambak rakyat. Selain petambak-petambak rakyat, pihak lain yang melakukan budidaya tambak udang vaname adalah Perusahaan Cold Storage dan Hatchery.

“Selama ini belum ada sinergi antara pemerintah dengan swasta. Pendampingan teknis dan monitoring penyakit dilakukan oleh perusahaan. Bahkan kini, tambak-tambak rakyat memiliki laboratorium sendiri. Sejauh ini belum ada kolaborasi antara petambak, perusahaan dan pemerintah  pada budidaya udang Vaname namun di sector udang hasil tangkap ia tidak mengetahuinya. Belum ada kemitraan antara petambak perusahaan dengan petambak rakyat, meskipun sebenarnya bisa diupayakan”, Jelas Zainul, Petani Budidaya Udang Vaname.

Selanjutnya, narasumber menjelaskan lagi bahwa isu utama dalam komoditas udang vaname adalah ketersediaan produksi udang dimana permintaan jauh lebih tinggi dibanding ketersediaan bahan baku. Artinya seberapapun banyaknya udang yang dihasilkan pasti akan terbeli karena pembeli sangat banyak. Selain itu, aktivitas produksi  pembudidaya/petambak yang kurang sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ditentukan. Dan budidaya udang Vaname memiliki resiko yang tinggi terhadap penyakiti yang berbasis lingkungan dan virus.

Disamping itu, pada rantai nilai produksi udang vaname, budidaya dimulai dengan pengadaan bahan baku (benih, pakan, energi, obat dan lain-lain). Bibit/benur yang diperlukan 1 ha tambak sejumlah satu juta ekor dengan ukuran post larva (PL) 8 – PL 12. Kebutuhan pakan sebesar 1,4 x jumlah produksi yang dihasilkan. Mayoritas dalam 1 ha tambak kurang lebih menghasilkan 20ton udang siap panen, sehingga pakan yang dibutuhkan sebanyak 28 ton. Artinya untuk menghasilkan udang seberat 1 kg dibutuhkan pakan sebanyak 1,4 kilogram. Saran produksi yang dibutuhkan meliputi pompa, kincir dan plastik HDPE (High Density Polietylene). Mulai dari bibit dan saprotan petambak mendapatkanya dari perusahaan-perusahaan Hatchery di Situbondo, Bali dan Rembang. Induk perusahaan benur berada diluar negeri sedangkan perusahaan-perusahaan lokal mengimpor bahan baku dari Amerika Serikat. Sedangkan produsen-produsen sarana produksi tersebar di Jawa Timur, meskipun terdapat juga sarana produksi yang diimpor dari Taiwan dan China dimana saprotan tersebut telah memiliki standar mutu yang berbeda dengan lokal.

“Selain itu, selama ini belum ada skema khusus bagi petambak udang. Para petambak pemula lebih banyak menggunakan modal mereka sendiri, dimulai dari modal kecil atau dukungan modal dari orang tua. Sebagian petambak juga menggantungkan modal kepada tengkulak yang tidak membutuhkan persyaratan legal formal’, jelas Zainul di akhir interview. Ada harapan besar dari sumber agar pemerintah dan juga swasta lebih memperhatikan persoalan akses modal bagi petambak.

Indepth Interview Komoditas Kedelai

Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia

Bandung, (04/09/2019). Kedelai dapat tumbuh dinegara tropis seperti di Indonesia, namun hasilnya tidak seoptimal di negara- negara subtropis. Kedelai lokal memiliki umur tanaman lebih singkat 2,5 – 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 – 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tetapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. Bila varietas lokal umumnya masih berproduksi di bawah 2 ton per hektar dan produktivitas terbesar seperti di Grobogan adalah 2,8 ton per hektar, maka kedelai impor dapat mencapai 3 ton per hektarenya. Biji impor pun umumnya lebih besar. Lemahnya produktivitas kedelai lokal tersebut tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas. Saat ini kedelai Indonesia (Non GMO/Premium) belum dapat bersaing dengan kedelai impor (umumnya GMO).

Secara umum kedelai lokal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kedelai impor yang umumnya GMO. Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal sebagai bahan baku pembuatan tahu. Menurut hasil di lapangan tahu hasil kedelai lokal lebih lezat, rendemennya pun lebih tinggi, kandungan gizi lebih unggul ketimbang impor dan risiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe yang saat ini menjadi fokus utama pemerintah. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam, kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya, bahkan dapat kurang empuk.

Riset “Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia” menempatkan Kedelai sebagai komoditas unggulan yang perlu dikembangkan mengingat konsumsi kedelai dalam negeri sangat tinggi, baik untuk industri dan pangan sehari-hari. Riset komoditas kedelai dilakukan di wilayah Jawa Barat dengan pertimbangan produksi kedelai di Jawa Barat cukup stabil jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Narasumber yang berhasil ditemui oleh Tim Peneliti Penabulu Foundation adalah Bapak Dadi dari Forum Tempe Indonesia.

Dadi menjelaskan bahwa kebutuhan kedelai Indonesia mencapai 3 juta ton per tahun sedangkan  produksi nasional menurut BPS sekitar 600-800 ribu ton per tahun sehingga hampir 70-80 persen sisa kebutuhan kedelainya dari impor. Kedelai memang bisa tumbuh di negara tropis seperti Indonesia, tetapi hasilnya tidak seoptimal di negara- negara subtropis. Produktivitas kedelai terbesar Indonesia di Grobokan yang mana dapat mencapai hingga 2,8 ton per sekali tanam per hektar akan tetapi kedelai Indonesia (Non GMO) tidak bisa berkompetisi dengan kedelai GMO.

“Kedelai produk petani lokal kalah dengan perusahaan besar yang mengimpor kedelai GMO. Hal ini karena petani lokal sebagai pemasok utama produk kedelai premium (Non GMO) sulit membudidayakan kedelai premium, karena untuk dapat membudidayakannya butuh sertifikasi/perijinan pangan sehat yang proses dan biaya pembuatannya menyulitkan petani lokal”, jelas Dadi.

Saat ini, tempe sudah diakui pemerintah Indonesia sebagai salah satu warisan budaya tak benda (Entingible Heritage). Sedang diajukan ke UNESCO agar tempe diakui oleh dunia. Tempe juga sebagai pangan fungsional karena banyak manfaatnya seperti Protein, vitamin, beberapa senyawa aktif yang dihasilkan proses fermentasi tempe, serta lemak yang rendah dibandingkan dengan nutrien sumber protein yang lain seperti ayam. Dunia internasional mengakui bahwa tempe masuk dalam 9 superfood karena manfaatnya ada komponen bioaktif anti kanker.

Indepth Interview Komoditas Kambing dan Domba

Mobilizing Involvement and Investment of The Private Sector in Inclusive Food System to Support Implementing SDGs in Indonesia

Bandung, (04/09/2019). Kambing dan domba (Kado) merupakan hewan ternak yang populer dan banyak dikembangkan di Indonesia. Tak hanya memiliki permintaan tinggi di pasar domestik, kambing dan domba Indonesia saat ini digemari oleh pasar ekspor, seperti Singapura,  Malaysia dan Brunei Darussalam. Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada tahun 2018 Indonesia telah mulai melakukan ekspor ternak domba ekor tipis ke Malaysia, dengan permintaan sebanyak 5.000 ekor per bulan. Selain itu, Indonesia juga melakukan ekspor domba Garut ke Uni Emirat Arab (UEA), dengan permintaan sebanyak 3.600 ekor per tahun.

Selain kedua negara tersebut, wilayah Asia, Afrika, dan Pasifik juga merupakan pasar ekspor yang sangat menjanjikan untuk komoditas ternak kambing dan domba. Permintaan yang tinggi dan potensi ini tentunya mendorong Indonesia untuk menggenjot ekspor tersebut, maka harus ada jaminan ketersediaan ternak secara kontinyu dan berkelanjutan. Saat ini pemerintah sudah mendorong dilakukannya kemitraan antara pelaku usaha (eksportir) dengan peternak domba/kambing yang melibatkan lembaga keuangan (perbankan maupun non perbankan) dalam penyediaan permodalan. Penyediaan permodalan bagi peternak dapat melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah dan aksesnya yang kini sangat mudah bagi para peternak.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka kambing dan Domba masuk dalam jenis komoditas yang diriset oleh Tim Peneliti Penabulu Foundation bekerjasama dengan Indonesia Bussiness Council for Sustainble Development (IBCSD). Tujuan riset ini adalah untuk memetakan peluang investasi dalam rantai nilai khususnya komoditas pilihan salah satunya kambing dan domba. Narasumber komoditas kambing dan domba dalam riset ini adalah Bapak Yudhi Guntara – Ketua Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI).

Saat ini pemerintah bersama HPDKI (Himpunan Peternak Domba-Kambing Indonesia) tengah meningkatkan peran strategis pengembangan peternakan kambing dan domba yang diarahkan pada 5 (lima) aspek yang menjadi keunggulan ternak kambing dan domba. Keunggulan tersebut diantaranya: budidaya kambing domba sebagai kegiatan yang relevan dengan pemberdayaan dan penggerak ekonomi masyarakat pedesaan, daging kambing dan domba sebagai alternatif sumber protein hewani dan alternatif pengganti selain daging ayam dan sapi, pembangunan peternakan berbasis budaya masyarakat, mewujudkan korporasi peternakan domba kambing guna meningkatkan populasi dan produktifitas untuk menjamin keberlanjutan usaha budidaya peternakan domba dan kambing, serta menyediakan kebutuhan pangan masyarakat, mengisi pasokan untuk pasar ekspor ke negara-negara regional ASEAN.

Selanjutnya, ketersediaan bibit/bakalan minim, sementara itu pemerintah belum focus dalam mengintervensi pada rantai persediaan benih kambing dan domba. Maka untuk merespon persoalan tersebut HPDKI mendorong dalam hal pembibitan untuk menggunakan betina Domba garut agar anaknya yang betina akan mempunyai kualitas indukan yang baik, sehingga petani tidak akan memotong sebagai domba pedaging.